Delapan Tuntutan Dewan Pers Indonesia & SPRI kepada Presiden
 
                                        
    
                    JAKARTA – Riuh rendah dunia pers Indonesia kembali memuncak. Kali ini, bukan soal pemberitaan kontroversial atau sengketa antar media, melainkan sebuah perlawanan terbuka terhadap lembaga yang seharusnya menjadi “penjaga rumah besar” pers itu sendiri: Dewan Pers.
Dewan Pers Indonesia (DPI) bersama Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) baru-baru ini menyampaikan delapan tuntutan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Tuntutan itu ibarat alarm keras bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan pers nasional.
Ketua DPI hasil Kongres Pers Indonesia 2019 sekaligus Ketua Umum SPRI, Hence Mandagi, tampil lantang. Ia menyebut kepemimpinan Dewan Pers selama beberapa periode terakhir justru menjauh dari semangat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Lebih parah lagi, pucuk pimpinan lembaga itu diisi oleh sosok-sosok yang tidak pernah menjadi wartawan profesional.
“Bayangkan, lembaga yang seharusnya melindungi wartawan justru dipimpin orang yang tidak punya pengalaman jurnalistik. Ini bisa merusak etika, independensi, dan kredibilitas pers nasional,” tegas Mandagi.
Baginya, ini bukan sekadar soal kursi pimpinan. Lebih jauh, ada dampak destruktif: pembiaran eksploitasi isu-isu sensitif seperti demonstrasi dan kerusuhan di media arus utama, tanpa memperhatikan kode etik. Akibatnya, opini publik tergiring, konflik sosial mengeras, dan kepercayaan masyarakat pada media terkikis.
Delapan Tuntutan yang Mengguncang Istana
Dalam dokumen resmi yang mereka ajukan, DPI–SPRI merinci delapan tuntutan besar kepada Presiden.
Tiga di antaranya menyasar struktur Dewan Pers. Mereka menuntut wartawan bebas memilih organisasi, memberi ruang bagi organisasi non-konstituen, hingga mendesak pembatalan SK Presiden tentang Anggota Dewan Pers periode 2025–2028 yang dianggap cacat hukum.
Dua poin berikutnya menyoal sertifikasi wartawan. DPI–SPRI mengecam praktik Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dilakukan tanpa lisensi resmi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Mereka menuding sertifikasi itu ilegal dan berpotensi menjadi alat diskriminasi.
Tiga tuntutan terakhir diarahkan kepada pemerintah. Intinya, mereka ingin Presiden mendukung penataan ulang dunia pers dan membersihkan Dewan Pers dari “penumpang gelap”: elit, eks pejabat, dan pihak yang dianggap memanfaatkan lembaga itu untuk kepentingan pribadi.
Mandagi menyebut delapan tuntutan ini sebagai suara hati mayoritas wartawan di Indonesia. “Kami sudah terlalu lama diperlakukan diskriminatif. Wartawan non-konstituen selalu ditempatkan sebagai kelas dua,” ujarnya.
Pers yang Tersandera Regulasi
Di balik tuntutan itu, terselip kritik mendasar: regulasi sepihak tentang “organisasi konstituen”. Regulasi ini membuat wartawan seolah dipaksa bergabung dengan organisasi tertentu agar mendapat legitimasi Dewan Pers. Padahal, Pasal 7 UU Pers jelas menyatakan wartawan bebas memilih organisasi.
Mandagi menilai inilah akar diskriminasi. Wartawan non-konstituen kerap kesulitan mengakses kerjasama media dengan pemerintah daerah, bahkan tak jarang terancam kriminalisasi saat menjalankan fungsi kontrol sosial.
Lebih ironis lagi, belanja iklan nasional yang nilainya ratusan miliar rupiah, sebagian besar hanya berputar di Jakarta. Ribuan media lokal yang tersebar di seluruh penjuru negeri nyaris tak kebagian kue.
“Pers seharusnya mengawasi kekuasaan. Tapi kenyataannya, pers dibonsai jadi alat proyek anggaran. Kalau begini terus, jangan heran korupsi merajalela,” sindir Mandagi.
Antara Ideal dan Realitas
Pertarungan gagasan antara “pers independen” dengan “pers yang dikontrol elit” bukanlah hal baru. Sejak reformasi 1998, debat ini tak pernah padam.
SPRI sendiri lahir pada tahun 1998, di tengah arus besar demonstrasi mahasiswa yang menumbangkan rezim Orde Baru. Dua tahun kemudian, SPRI ikut mendesak lahirnya UU Pers 1999—sebuah tonggak kebebasan pers di Indonesia. Namun, dua dekade kemudian, mereka justru kembali harus melawan lembaga yang lahir dari UU itu.
Sejarah singkat DPI juga menarik. Dibentuk dari Sekber Pers Indonesia, DPI menggelar Musyawarah Besar Pers 2018 di TMII dan Kongres Pers Indonesia 2019 di Asrama Haji Pondok Gede. Sejak awal, DPI konsisten mengkritisi dominasi segelintir organisasi pers yang dianggap memonopoli Dewan Pers.
Menunggu Jawaban Presiden
Kini, bola panas ada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Delapan tuntutan DPI–SPRI jelas bukan sekadar keluhan biasa. Ia bisa menjadi ujian awal komitmen pemerintah dalam menegakkan demokrasi.
Mandagi berharap Presiden berani mengambil sikap tegas. “Selamatkan pers Indonesia dari elit yang nihil pengalaman jurnalistik. Jangan biarkan pers dijadikan alat politik atau bisnis semata. Kalau pers independen, saya yakin bangsa ini lebih kuat melawan korupsi, mafia migas, dan pengusaha nakal,” tandasnya.
Refleksi
Delapan tuntutan DPI–SPRI bukan hanya tentang siapa yang duduk di kursi Dewan Pers, atau siapa yang berhak menguji kompetensi wartawan. Lebih jauh, ini tentang masa depan pers Indonesia: apakah ia akan tetap menjadi anjing penjaga demokrasi (watchdog), atau justru berubah menjadi anjing piaraan elit yang jinak dan mudah dikendalikan.
Dan di titik inilah, publik menunggu. Akankah Presiden Prabowo mendengar suara lantang dari komunitas pers akar rumput? Atau, sekali lagi, jeritan mereka hanya akan bergaung di ruang hampa?




Tulis Komentar