Kolom

Optimalisasi Penegakan Hukum Lingkungan

Foto ilustrasi: Bayu Ardi Isnanto/detikcom

Oleh : Ribut Baidi - detikNews

Jakarta - Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan di berbagai daerah Indonesia bukan hanya sekadar fenomena, tetapi merupakan problematika akut yang memantik keprihatinan semua pihak. Berbagai diskusi tentang lingkungan yang digagas oleh berbagai organisasi, termasuk pemerintah dan pemerintah daerah semakin meningkat, tetapi kejahatan lingkungan dari waktu ke waktu semakin meningkat pula secara kuantitas maupun kualitasnya.

Upaya pencegahan (preventif) maupun penindakan (represif) yang dilakukan oleh pemerintah belum menunjukkan keberhasilan yang maksimal. Fakta maraknya aktivitas eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan industri yang berakibat terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan telah menunjukkan bahwa upaya pemerintah tersebut tidak menjadi shock therapy'bagi pelaku kejahatan lingkungan.

Meningkatnya eksploitasi SDA (pertambangan dan minyak) yang pure 'economic oriented dan bisnis oriented disertai pula pertumbuhan populasi manusia secara geometris dan menuntut ketersediaan lahan untuk pemukiman, pembukaan dan pembersihan lahan dengan cara membakar, serta tindakan buruk lainnya berakibat terhadap degradasi lingkungan yang mayoritas dilakukan oleh segelintir manusia untuk mengejar kemanfaatan secara ekonomi dengan mengabaikan SDA dan lingkungan untuk kemanfaatan jangka panjang.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang 39/2009 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyebutkan: Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kemudian di dalam konsideran menimbang huruf d Undang-undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dinyatakan: bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.

Perlindungan hak asasi lingkungan yang dituangkan di dalam norma konstitusi, UU HAM, dan UU PPLH justru berbanding terbalik dengan realitas dan kondisi lingkungan saat ini yang mengalami degradasi pada titik kulminasi mengkhawatirkan. Pemanfaatan lingkungan secara monopoli dan bebas (res nullius) oleh segelintir manusia berimplikasi terhadap pemanfaatan lingkungan untuk kepentingan umum (res commune) dan mereduksi hak asasi lingkungan secara kolektif.

Data penegakan hukum pidana terhadap kejahatan lingkungan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum KLHK) sepanjang 2015 - 2023 sebanyak 1.369 kasus, dan khusus pada 2023 sebanyak 52 kasus dengan jumlah presentase, yakni pembalakan liar 26.9%, perambahan 23,1%, peredaran ilegal tumbuhan satwa liar (TSL) 36,5%, pencemaran lingkungan 9.6%, dan kerusakan lingkungan 3.8% (https://gakkum.menlhk.go.id). Dari data tersebut kita merasa khawatir lambat laun pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan potensial semakin parah dan meluas tanpa terkendali.

Membuka Peluang Bencana

Sebagai bagian dari HAM yang diatur dalam konstitusi, keberadaan lingkungan harus dilindungi dan dijaga kelestariannya. Eksploitasi yang melampaui batas dan praktik monopoli SDA yang lost control tidak hanya mereduksi hak asasi lingkungan dan melanggar konstitusi, tetapi juga membuka peluang munculnya bencana yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan manusia serta makhluk hidup lainnya saat ini maupun di saat yang akan datang.

Yunus Wahid (2018) menyatakan penegakan hukum lingkungan menganut sistem dalam arti luas dan berjenjang meliputi tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif merupakan prioritas sebagai upaya penataan dan pemenuhan ketentuan hukum (yang bersifat compliance) melalui sosialisasi, pelatihan, dan upaya meyakinkan orang secara bijaksana menuju penataan hukum. Prioritas ini sejalan dengan konsep kemitraan dan keterpaduan berbagai pihak dalam mengatasi berbagai problematika lingkungan yang harus dipecahkan dengan pendekatan inter dan multidicipliner serta lintas sektoral sesuai dengan sifatnya yang multikompleks.

Hal tersebut dipandang lebih baik daripada konfrontasi yang mengeskalasikan konflik sebagaimana tercermin dalam penegakan represif lewat sanctioning strategic dengan penal style sebagai karakteristiknya. Langkah konkret yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah evaluasi aturan hukum lingkungan, seperti UU PPLH maupun undang-undang sektoral bidang lingkungan lainnya dengan lima hal.

Pertama, merevisi UU PPLH sebagai lex generalis terutama tentang asas tanggung jawab mutlak (strict liability) yang tidak hanya diperuntukkan pada aspek keperdataan saja sebagaimana Pasal 88 UU PPLH, melainkan juga diperuntukkan pada aspek kepidanaan yang saat ini menganut asas kesalahan (guilty mind/mens rea).

Kedua, menjadikan sarana pemidanaan sebagai langkah utama (primum remedium), terutama bagi pengusaha bisnis lingkungan yang melanggar hukum dengan tidak mengantongi izin (ilegal). Ketiga, penguatan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah yang tidak hanya kewenangan menggugat perdata sebagaimana Pasal 90 UU PPLH, tetapi juga kewenangan sebagai pelapor dugaan tindak pidana lingkungan.

Keempat, mendorong penguatan pelibatan masyarakat dan organisasi lingkungan terhadap hak gugat perdata dan administrasi sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 91 - 93 UU PPLH yang tentunya gayung bersambut dengan komitmen perlindungan dari pemerintah dan pemerintah daerah. Kelima, memastikan semua undang-undang sektoral bidang lingkungan hidup di luar UU PPLH menjadikan asas strict liability dan asas primum remidium sebagai asas utama untuk menjamin penegakan hukum lingkungan dilaksanakan secara serius dan optimal.

Jika lima hal tersebut direalisasikan, maka penegakan hukum lingkungan akan berjalan dengan baik karena aturan hukumnya sudah tidak lagi ada pertentangan norma yang dapat menghambat optimalisasi penegakan hukum lingkungan pada ranah empiris saat ini maupun di masa yang akan datang, serta masyarakat semakin yakin bahwa pemerintah tidak setengah hati menerapkan aturan hukum lingkungan yang bermuara pada tindakan preventif dan represif.

Ribut Baidi advokat dan dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM), pengurus Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI)

sumber : detikNews/Ribut Baidi

TERKAIT