Ekonom Ini Ingatkan Rencana Pemutihan Lahan Sawit Bisa Chaos

Foto: Perkebunan kelapa sawit (Anadolu Agency via Getty Images)

Jakarta - Pemerintah melalui Tim Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, berencana melegalkan alias memutihkan jutaan hektare (ha) lahan kelapa sawit yang selama ini diduga berada di kawasan hutan. Hanya saja, langkah pemerintah ini dinilai akan memicu chaos.

Pemutihan ini paling lambat berlangsung pada tanggal 2 November 2023. Dasar hukum pemutihan ini mengacu pada pasal 110A dan B Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) Nomor 110 A dan 110 B yang mengatur soal izin berusaha di kawasan hutan dan sanksi jika melanggar.

Namun, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin menilai adanya kerancuan. Di mana penetapan kawasan hutan yang di dalamnya terdapat lahan sawit disebabkan adanya kerancuan dalam proses perizinan sehingga menimbulkan polemik di kalangan pelaku usaha.

"Dari awal tentang penetapan kawasan hutan itu sering jadi masalah di mana sawit ada di dalamnya. Karena tidak terlalu jelas landasan hukum yang di campur aduk dan akhirnya timbul multitafsir dari sanksi yang akan dikerjakan oleh Satgas," katanya dalam Diskusi Nagara Institute, Jumat (6/10/2023).

Ia menilai HGU yang dimiliki pelaku usaha sawit saat ini tidak tunduk oleh UU Cipta Kerja. Pasalnya, HGU itu ditetapkan lebih dahulu sehingga sulit dibatalkan. Oleh karena itu, menurutnya pemerintah perlu melakukan dialog dan sosialisasi dengan pelalu industri dan masyarakat untuk mencegah adanya penafsiran yang berbeda.

"HGU itu tidak duduk pada UU Cipta Kerja sehingga terjadi multitafsir karena sudah ditetapkan duluan pada UU Agraria tahun 1960," sebut Bustanul.

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Sawit IPB, Budi Mulyanto menilai tujuan tata kelola dan pendapatan negara dari industri sawit mesti dipisahkan.

Menurutnya pemerintah atau satgas harus mengutamakan tata kelola terlebih dahulu terutama soal legalitas lahan yang perlu pendataan dengan tepat serta dikelola dalam basis data yang parsial. Hal ini penting sehingga tidak terjadi polemik sengketa HGU di kemudian hari.

"Dengan adanya legalitas beres, subjek atas tanah jelas, dan pemegang haknya bertanggungjawab untuk membayar pajak. Kejelasan ini yang akan berdampak positif terhadap negara," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyampaikan ada narasi yang salah terkait rencana pemerintah yang akan memutihkan atau melegalkan 3,3, juta ha perkebunan kelapa sawit yang selama ini berada di kawasan hutan.

"Yang menjadi ganjalan di kami, narasi di luar sana adalah bahwa 3,3 juta hektar diputihkan. Yang terjadi bukan seperti itu, narasi itu sudah terbentuk sampai saya melihat podcast mantan ketua KPK Abraham Samad dengan serikat buruh, seolah-olah 3,3 juta hektare merugikan negara sekian puluh triliun per bulan atau per hari," kata Eddy dalam workshop Gapki di Bandung, Rabu (23/8/2023).

Untuk itu, Gapki menilai narasi-narasi yang menganggap 3,3 juta ha perkebunan sawit diputihkan karena masuk dalam kawasan hutan dan merugikan negara harus diluruskan.

"Padahal yang terjadi itu di kawasan hutan ya masuk dalam HGU. Narasi-narasi seperti ini harus diluruskan. Jangan sampai industri sawit itu dinarasikan merugikan ratusan triliun," ujarnya.*

sumber : CNBC Indonesia

TERKAIT