Genderang Adu Kuat Jokowi-Prabowo Raup Suara di Basis Lawan


Jakarta -- Rapat umum atau kampanye terbuka Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 telah dimulai sejak Minggu (24/3) kemarin. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menjadwalkan kampanye terbuka digelar selama 21 hari ke depan atau tanggal 24 Maret dan berkahir pada 13 April 2019.

Hari perdana kampanye terbuka ini dimanfaatkan oleh kedua pasangan calon. Capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo- Ma'ruf Amin misalnya, mereka memilih wilayah Serang, Banten sebagai titik awal kampanye terbuka di Pilpres 2019 ini.

Sekretaris TKN Hasto Kristiyanto beberapa hari lalu menyebut pihaknya akan melibatkan 5.320 juru kampanye nasional selama masa kampanye terbuka.

Jurkamnas tersebut berasal dari berbagai golongan. Mulai dari pimpinan parpol koalisi, ulama, serta sejumlah menteri yang merupakan kader parpol.

Sementara itu, capres nomor urut 02 Prabowo Subianto langsung 'menggeber' di acara kampaye terbuka perdananya. Ia diketahui langsung berkampanye di dua kota di Sulawesi secara sekaligus selama seharian.

Pada pukul 10.00 WIB, Prabowo berkampanye di Lapangan Ketang Baru, Manado, Sulawesi Utara. Setelah itu, pada pukul 13.00 WIB, Prabowo menggelar  kampanye terbuka di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan.

Direktur Populi Center, Usep S Ahyar menilai kampanye terbuka perdana dijadikan sebagai momentum masing-masing kandidat untuk meraup suara di basis atau wilayah yang masih kalah atau lemah.

Usep menyatakan pemilihan wilayah kampanye terbuka itu sebagai bentuk simbolisasi politik oleh Jokowi dan Prabowo untuk menunjukkan perhatiannya terhadap wilayah yang pernah kalah di Pemilu Presiden 2014.

"Ya jadi ini adu kuat untuk merebut suara di basis yang pernah kalah. Jadi saya kira mereka sudah baca data, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka perhatian juga terhadap basis-basis wilayah mereka yang di [Pilpres] 2014 itu lemah ya, kalah ya," kata Usep kepada wartawan, Minggu (24/3).

Diketahui, Jokowi yang kala itu berpasangan dengan Jusuf Kalla pernah meraih kekalahan telak dari pesaingnya Prabowo-Hatta Rajasa di wilayah Banten saat Pilpres 2014 silam.

Saat itu, Prabowo-Hatta meraih suara sebesar 3.192.671 suara atau 57,10 persen. Sementara Jokowi-JK hanya meraih 2.398.631 suara atau 42,90 persen.

Sama seperti dengan Jokowi, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan sendiri menjadi 'kuburan' bagi Prabowo-Hatta Rajasa karena kedua wilayah tersebut menjadi basis kemenangan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla di Pilpres 2014.

Di Sulsel sendiri, Prabowo-Hatta hanya meraih  1.214.857 suara atau 28,57 persen. Berbanding terbalik dengan pasangan Jokowi-JK yang meraih kemenangan mutlak sebesar 3.037.026 atau 71,43 persen.

Usep menilai kedua pasangan itu tak sembarangan dalam menentukan titik awal dalam berkampanye akbar.

Ia menyatakan wilayah-wilayah tersebut sudah diidentifikasi dan masuk dalam kategori 'potensial' dalam mengubah arah suara di Pilpres 2019 bagi masing-masing paslon.

Khusus untuk Banten, Usep menduga dipilihnya tanah 'Para Jawara' itu sebagai titik awal kampanye terbuka Jokowi-Ma'ruf karena dipandang sangat strategis.

Selain dari sisi jumlah penduduk yang besar, Usep menilai para pemilih di Banten berpotensi besar mengalihkan dukungan dari Prabowo untuk memberikan kemenangan bagi Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019.

Sebab, kata dia, wilayah tersebut sampai saat ini merupakan basis massa terbesar dari Partai Golkar. Partai Golkar sendiri secara resmi bergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja untuk mendukung Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019.

"Saya kira dengan potensi itu dipilih juga untuk Pak Jokowi untuk digarap. Karena memang kondisi sekarang Golkar ke Jokowi, berbeda dari 2014 lalu Golkar ke Prabowo. Ada juga faktor Wagub Banten sekarang kan dari Golkar," kata Usep.

Selain itu, kata Usep, wilayah Banten masih sangat erat kaitannya dengan mayoritas pemilih berbasis Muslim yang kental sampai saat ini.

Ia mengatakan strategi Jokowi untuk hadir berkampanye bersama-sama dengan Ma'ruf di wilayah tersebut sudah sangat tepat. Sebab, berbagai isu miring soal PKI dan anti-Islam yang kerap diarahkan kepada Jokowi akan mudah diminimalisir.

"Karena pak Ma'ruf berasal dari situ [Banten] juga, sehingga untuk meng-counter isu-isu bahwa Jokowi PKI atau penista agama bisa dilakukan dengan baik," kata dia.

Khusus untuk wilayah Manado dan Sulawesi Selatan, Usep menilai Prabowo dan tim suksesnya meyakini wilayah tersebut akan memberikan suara yang maksimal bagi mereka di Pilpres 2019 meski masih masuk dalam basis Jokowi.

Ia menilai Prabowo sedang melakukan perlawanan di kedua wilayah tersebut untuk meruntuhkan dominasi Jokowi agar bisa meraup banyak suara di kawasan Indonesia timur.

"Di Manado juga wilayah kandang Banteng [PDIP], gubernurnya dari PDIP, ini simbolisasi juga, mereka [Prabowo] melakukan perlawanan. Bahwa Manado dan Sumsel punya potensi untuk meraup suara di wilayah timur," kata dia

Targetkan Undicided Voters

Terpisah, Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai kedua pasangan calon tersebut sedang berusaha meraih suara dari massa pemilih mengambang atau yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) di pilpres.

Sehingga, Wasis menyatakan sangat wajar bila Jokowi memilih Banten dan Prabowo memilih Manado dan Sulsel sebagai wilayah pertama di kampanye terbuka Pilpres 2019.

Sebab, para pemilih di ketiga wilayah tersebut memiliki karakter yang sangat dinamis tergantung pada penggiringan isu yang diusung oleh masing-masing capres

"Targetnya adalah meraih kantong suara pemilih yang masih mengambang karena ketiga daerah itu sebenarnya daerah-daerah yang dinamis peta pemilihnya tergantung pada penggiringan isu kampanye," kata Wasis.
 
Merujuk dari hasil survei Litbang Kompas pada Maret 2019, masih ada 13,4 responden yang belum menentukan pilihannya di Pilpres 2019. Jumlah ini turun dari survei pada Oktober 2018 sebesar 14,7 persen responden menyatakan masih rahasia.

Meski begitu, Wasis berpendapat kampanye terbuka tak terlalu signifikan dalam meningkatkan elektabilitas para pasangan capres-cawapres di Pilpres 2019.

Sebab, kampanye terbuka hanya dijadikan sebagai sarana bagi elite politik untuk sekadar menghibur mssyarakat ketimbang memberikan pendidikan politik yang baik.

"Itu lebih diartikan sebagai aksi panggung hiburan rakyat saja," kata dia.

Lebih lanjut, Wasis menyatakan seharusnya para pasangan capres-cawapres dapat menjadikan ajang kampanye terbuka sebagai sarana untuk menekan kontrak politik kepada masyarakat.

Hal itu bertujuan agar masyarakat lebih memahami bagaimana komitmen dan keberpihakan yang dibangun para pasangan calon bagi kemajuan masyarakat setempat bila terpilih di pilpres.

"Kampanye terbuka itu juga harusnya bisa diartikan sebagai arena calon untuk menekan kontrak politik dengan elite lokal dan masyarakat setempat bila terpilih," kata dia.(cnn)
TERKAIT