Ketika Nasabah Hampir Lunas Justru Kehilangan Kendaraan
Pekanbaru, Mimbarnegeri.com — || Peristiwa memilukan menimpa Dahlia, seorang bidan sekaligus ibu rumah tangga di Riau, membuka kembali persoalan klasik di industri pembiayaan, praktik penagihan yang diduga melanggar hukum dan penarikan kendaraan tanpa prosedur oleh oknum debt collector. Namun kasus ini berbeda—korban adalah nasabah yang sudah 93% melunasi kredit. Mobilnya justru hilang hanya tiga bulan sebelum pelunasan.
Investigasi menemukan banyak kejanggalan, potensi pelanggaran prosedur, serta dugaan tindak pidana yang mungkin melibatkan pihak internal maupun eksternal perusahaan pembiayaan.
Mengapa Mobil Justru “Diamankan”?
Dahlia adalah nasabah lama BFI Finance, pernah menyelesaikan kredit mobil sebelumnya tanpa masalah. Untuk unit Innova yang kini hilang, ia telah membayar 45 dari 48 bulan.
Keterlambatan pembayaran terjadi karena mobil mengalami kecelakaan dengan biaya perbaikan sekitar Rp20 juta, bersamaan dengan kondisi Dahlia yang baru melahirkan.
Secara rasional, kasus seperti ini biasanya dapat diselesaikan dengan negosiasi ulang atau restrukturisasi ringan. Namun yang terjadi justru sebaliknya—unit hilang dibawa oknum.
Jejak Kejanggalan: Surat Pernyataan, Kunci Dipinjam, Mobil Raib
Ketika Dahlia berada di Pekanbaru, ia meminta penagih bertemu suaminya di Ujung Batu. Di sana, oknum tersebut menawarkan surat pernyataan pelunasan untuk Januari 2026. Namun sebelum dokumen ditandatangani, oknum itu meminjam kunci mobil dengan alasan memeriksa nomor rangka dan speedometer—alasan yang sebetulnya tidak umum dilakukan di dalam kantor leasing. Beberapa menit setelah menerima kunci, oknum itu pergi dan tidak kembali.
Hilangnya mobil ini dibarengi satu fakta krusial:
? Tidak ada identitas
? Tidak ada surat tugas
? Tidak ada sertifikat profesi
? Tidak ada dokumen resmi penarikan
Semua unsur ini memperkuat dugaan bahwa mobil Dahlia diambil secara ilegal, sebab dengan alasan meminjam kunci untuk mengecek no.rangka dan spedo motor, sang debt colektor justru menghilang bersama dengan mobi milik Dahlia.
Nominal yang Berubah-Ubah: Indikasi Negosiasi Tidak Transparan
Dahlia mengonfirmasi adanya tuntutan pembayaran yang berubah-ubah:
Menurut Dahlia untuk pelunasan Awalnya Ia diminta membayar Rp.45 juta, kemudian turun menjadi Rp.35 jutaan itupun setelah melalui perdebatan sengit. Akan tetapi setelah mobil hilang, pihak cabang meminta Rp.25 juta + pelunasan penuh, artinya ada penurunan lagi, Padahal kewajiban yang harus dibayar Dahlia hanya sebesar Rp.11.250.000,- (Sebelas juta Dua ratus lima puluh ribua rupiah) untuk pelunasan seecara permanen.
Perubahan angka tanpa dasar yang jelas ini adalah indikasi kuat praktik penagihan yang tidak mengikuti standar OJK. Ini mengundang pertanyaan besar:
? Jika mobil sudah dilarikan oknum, mengapa justru nasabah yang diminta menambah pembayaran?
? Siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya unit yang seharusnya berada di bawah pengawasan mitra resmi perusahaan pembiayaan?
AKIBAT HUKUM: Dugaan Tindak Pidana Berlapis
Kasus ini tidak hanya soal wanprestasi atau keterlambatan bayar, tetapi mengarah pada pelanggaran hukum serius. Beberapa pasal pidana yang potensial masuk antara lain:
1. Penggelapan (Pasal 372 KUHP). “Mengambil barang milik orang lain yang berada dalam penguasaannya secara sah atau tidak sah, lalu menguasainya untuk diri sendiri atau orang lain”.
? Pelaku dapat dipidana hingga 4 tahun penjara.
2. Penipuan (Pasal 378 KUHP). “Jika terbukti kunci dipinjam dengan alasan palsu (cek nomor rangka), tujuan sebenarnya adalah membawa kabur mobil”.
? Ancaman 4 tahun penjara.
3. Pemerasan atau Perbuatan Tidak Menyenangkan (Pasal 368 KUHP). “Jika ada unsur tekanan dalam penagihan, termasuk permintaan pembayaran tambahan yang tidak berdasar”.
? Ancaman 9 tahun penjara.
4. Pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999). “Tindakan penagihan yang bersifat intimidatif, tidak transparan, atau melanggar prosedur dapat digugat secara perdata maupun pidana”.
? Denda hingga Rp2 miliar dan tuntutan ganti rugi.
5. Pelanggaran Peraturan OJK (POJK 35/2018 dan SE OJK 17/2022)
OJK secara tegas mengatur:
debt collector wajib memiliki sertifikasi, harus membawa surat tugas, tidak boleh menarik kendaraan tanpa dokumen, penarikan wajib didampingi pihak kepolisian bila terjadi penolakan. Penarikan yang tidak memenuhi syarat = tindakan melawan hukum.
DPD Aliansi Kajian Jurnalis Independen Indonesia (AKJII) Provinsi Riau melalui Kabid humasnya Syaparianto.S mempertanyakan Apakah Ini Bagian dari Pola?
sebab masih menurut Syaparianto.S Kasus seperti ini biasanya muncul dalam beberapa pola:
Diantaranya Pola pertama : Penarikan "liar" oleh oknum mitra DC Sering kali perusahaan pembiayaan menggunakan pihak ketiga yang tidak sepenuhnya terawasi.
Pola kedua : Lemahnya pengawasan internal, Jika oknum yang membawa mobil mengaku dari BFI, perusahaan wajib mengecek siapa yang diberi mandat. Lemahnya sistem kontrol bisa berujung pada kehilangan unit.
Pola ketiga : Mobil yang kreditnya hampir lunas menjadi incaran, Secara ekonomi, mobil dengan kredit hampir rampung memiliki nilai tinggi, sementara “tanggungan” nasabah kecil. Dalam beberapa kasus investigatif di Indonesia, pola ini sering muncul sebagai modus untuk mendapatkan unit tanpa proses lelang teratur.
Apakah kasus Dahlia termasuk dalam pola tersebut? Masih perlu pendalaman, tetapi indikasi ke arah itu cukup kuat.
Apakah Dahlia akan menempuh Langkah Hukum yang tersedia? Kita tunggu lanjutannya.*salman




Tulis Komentar