Politisi PDIP, PKS, PKB Sudah Muak, Wacana Impeachment Presiden Jokowi Menguat, Ini Tahapannya

Foto : Presiden Jokowi yang banyak senyum tenyata menikam PDIP. Kini, dia terancam digulingkan atau impeachment karena dugaan praktik kolusi dan nepotisme.

JAKARTA - Dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya tercoreng. Jika tadinya hampir semua kalangan memuji, kini sebagian sudah balik badan. Bahkan yang balik badan adalah mereka yang tadinya jadi pendukung utama Jokowi.

Mereka akan menyerang balik jika Jokowi dikritik atau dihina saat memimpin. Namun, kini mereka justru bersiap untuk menggulingkan atau memakzulkan (impeachment) Jokowi sebelum Oktober 2024.
Semua itu bermuara pada ulah Jokowi sendiri yang gelap mata, terjebak pada praktik kousi dan nepotisme tingkat tinggi.

Jokowi tak rela pensiun dan menjadi orang biasa, maka lewat kekuasaan yang dimiliki coba mengutak-atiknya lewat Mahkamah Konsttusi (MK) yang dipimpin Anwar Usman, adik iparnya.
Baca juga: Gus Karim Guru Ngaji Presiden Jokowi di Solo Sakit, Ketua PCNU Solo Mashur: Beliau Kecapekan

Maka, wacana pemakzulan atau impeachment ini mencuat.
Anggota DPR Fraksi PDIP Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap MK.
Iklan untuk Anda: Fahri Hamzah Ungkap Jokowi Geram Ditelikung Ganjar Soal Piala Dunia U-20 Batal Jadi Tuan Rumah

Sebabnya adalah MK mengeluarkan putusan syarat batas usia capres-cawapres yang meloloskan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres.
"Mengajukan hak angket terhadap lembaga Mahkamah Konstitusi. Kita tegak lurus terhadap konstitusi kita," tegas Masinton dalam rapat paripurna DPR, Jakarta, Selasa (31/10/2023).

Masinton mengajak anggota DPR untuk membuka mata terhadap putusan MK yang dinilai janggal.
Putusan itu, menurutnya, hanya demi pragmatisme politik semata.
"Ini kita berada dalam situasi yang ancaman terhadap konstitusi kita, Reformasi 98 jelas memandatkan bagaimana konstitusi harus diamandemen UU dasar itu," ujar Masinton.

Kemudian wacana hak angket ini merembet ke isu pemakzulan Presiden Joko Widodo.
Isu tersebut berembus dari politisi PKS Mardani Ali Sera. Ia mencetuskan isu pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) jika dugaan cawe-cawe atau campur tangan dalam Pilpres 2024 terbukti.

“Jika faktanya verified, pemakzulan bisa menjadi salah satu opsi,” kata Mardani kepada wartawan.
Ia pun menyebut laporan utama sebuah majalah sebagai rujukan cawe-cawe Jokowi.
 
"Monggo dilanjutkan proses investigasinya jika merasa datanya verified," katanya.

Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengaku mendapat masukan masyarakat terkait wacana pemakzulan presiden.

Putusan itu dianggap bermasalah karena dianggap sengaja memberikan jalan bagi putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden.
Terlebih, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman merupakan ipar Jokowi.

"Itu yang embrio ke arah situ (pemakzulan) memang banyak masukan dari masyarakat," kata Jazilul kepada wartawan, Sabtu (4/11/2023).
Sementara usulan Hak Angket sebagai bentuk kekecewaan terhadap MK yang dinilai sengaja memberikan karpet merah kepada Gibran.

"Kekecewaan ini makin lama makin hari makin meluas. Banyak tokoh-tokoh nasional yang meluapkan kekecewaan terhadap demokrasi yang makin terpuruk," kata Jazilul.
Sedangkan, pengamat politik dari Formappi, Lucius Karus menilai DPR harus memastikan dulu hak angket bisa berjalan mulus di parlemen baru bicara pemakzulan.
"Pastiin dulu Angketnya baru bicara pemakzulan ya," katanya.

Ia pun menjelaskan mekanisme pemakzulan lewat hak angket.
"Secara garis besar pemakzulan dimaknai sebagai proses, cara, atau perbuatan untuk memakzulkan seseorang dari jabatannya, memberhentikan dari jabatan, atau meletakkan jabatannya (sendiri) sebagai pemimpin," katanya.

Sementara, pemakzulan presiden secara tegas telah diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam aturan itu dijelaskan, presiden dan wakil presiden bisa diberhentikan jabatannya oleh MPR dan DPR dengan mekanisme tertentu. Pemakzulan bisa dilaksanakan apabila presiden atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum

Sebelumnya, pengamat politik Saiful Mujani juga menyuarakan soal konflik kepentingan yang dicurigai menjadi penyebab dikabulkannya perkara 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden.

"Apabila ada bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa presiden melakukan abuse of power, maka tahap impeachment terhadap presiden bisa dilakukan," tutur Saiful, Rabu (1/11/2023).

Menurut Saiful, segala huru hara terkait MK yang dianggap tidak netral bersumber dari sikap dan keputusan Presiden Jokowi yang tidak cukup terang benderang, tegak lurus pada konstitusi dan proses hukum di Indonesia.

Selain itu, Saiful juga berpandangan bahwa Presiden Jokowi seharusnya mengetahui bahwa putusan tersebut cacat secara serius.
"Saya berharap tadinya, bahwa pak Jokowi tidak mengizinkan putranya untuk menjadi calon wakil presiden," tukas Saiful yang juga tokoh pendukung Maklumat Juanda.

Apa itu pemakzulan dan bagaimana tahapannya?

Pemakzulan bisa didefinisikan sebagai proses, cara, atau perbuatan untuk memakzulkan seseorang dari jabatannya atau memberhentikan dari jabatan sebagai pemimpin.
Pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden telah diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pasal tersebut berbunyi: "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."


Sebelum tahapan-tahapan dijalankan, DPR memanfaatkan hak angket sebagai upaya penyelidikan terhadap kebijakan yang diambil oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. DPR kemudian dapat menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai cara untuk membawa kasus Presiden dan/atau Wakil Presiden ke MK.

Jika kemudian MK akhirnya memutuskan terdapat pelanggaran berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, tidak otomatis pemakzulan itu terjadi.

Proses itu harus dilanjutkan dengan digelarnya Sidang Paripurna MPR untuk membuat keputusan.
Sidang untuk memutuskan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dihadiri oleh minimal 3/4 dari total anggota MPR dan memerlukan persetujuan dari setidaknya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir.*


sumber : WARTAKOTALIVE.COM


TERKAIT