Pemetaan Ekosistem Mangrove di Kota-kota Pesisir

Foto : Kebun Raya Mangrove Surabaya merupakan kebun raya tematik mangrove yang Kebun Raya Mangrove Surabaya merupakan kebun raya tematik mangrove yang pertama dan satu-satunya di Indonesia (Shutterstock/Mumun96) Artikel ini telah tayang di Kompas.

Dalam puncak acara festival LIKE (lingkungan, Iklim, Kehutanan dan Energi) 18 September 2023, di Indonesia Stadion Arena, PRESIDEN Joko Widodo menyampaikan pentingnya ekosistem mangrove dan mengajak masyarakat untuk menanam mangrove.

Ekosistem mangrove, terutama yang berada di kawasan kota pesisir, berperan dalam menyerap dan menyimpan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Penyimpanan karbon ini membantu mengurangi konsentrasi CO2 di perkotaan, yang merupakan salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Daun-daun pohon mangrove dapat berperan sebagai penyaring udara alami, menangkap partikel polutan yang dihasilkan oleh perkotaan dan debu dari udara. Dengan demikian, ekosistem mangrove dapat berkontribusi dalam memperbaiki kualitas udara perkotaan.

Meningkatnya polusi udara di kota besar seperti Jakarta, menjadi konsen bersama saat ini. Untuk itu kota pesisir seperti Jakarta yang mempunyai ekosistem mangrove perlu meningkatkan upaya konservasi, mengingat mangrove mempunyai peran penting dalam menjaga keseimbangan alam yang berkelanjutan, menjaga kehidupan hayati dan mengatasi perubahan iklim.

Beberapa kota pesisir di dunia yang mempunyai ekosistem mangrove yang signifikan antara lain Mumbai India, Miami AS, Manila Filipina, Cancun Meksiko, dan Darwin Australia. Dalam skala berbeda, kota-kota pesisir di Indonesia juga mempunyai ekosistem mangrove, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Balikpapan, Pontianak, Makasar, Banyuwangi, dan Denpasar.

Ekosistem mangrove juga dapat berperan memberikan perlindungan kota-kota pesisir dari badai dan gelombang tsunami, di mana ekosistem mangrove berperan meredam energi gelombang yang akan menghantam pantai.

Namun, ekosistem mangrove di kota-kota pesisir di seluruh dunia menghadapi ancaman degradasi dan kerusakan yang serius akibat perubahan iklim, penebangan liar, eksploitasi berlebihan, dan perkembangan kota ke arah pesisir yang tidak terkendali.

Oleh karena itu, pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove menjadi sangat penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada ekosistem ini.

Salah satu upaya penting dalam konservasi kawasan ekosistem mangrove di kota-kota pesisir adalah dengan melakukan pemetaan, untuk mengetahui persebaran dan luasannya secara keruangan dalam suatu wilayah tertentu. Pemetaan akan sangat membantu dalam monitoring dan pengelolaan kawasan mangrove. Pemetaan dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi geospasial berupa foto udara dan citra satelit, untuk memberikan informasi tentang luas, umur, kondisi dan distribusi kawasan mangrove.

Teknologi geospasial juga dapat digunakan untuk membantu menentukan lokasi yang tepat untuk penanaman kembali mangrove, menentukan area prioritas untuk perlindungan, dan mengidentifikasi titik rawan terhadap ancaman seperti penebangan liar atau perubahan penggunaan lahan. Peta mangrove nasional pertama kali mulai dirintis tahun 2009, termasuk produk pertama dari kebijakan satu peta (one map policy).

Untuk mendukung inventarisasi kawasan mangrove secara spasial, disusunlah Standar Nasional Indonesia SNI 7717-2011 tentang survei dan pemetaan mangrove. Standar ini sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan survei dan pemetaan mangrove, agar hasil yang diperoleh mempunyai format sama, dapat disambungkan, dapat diberbagi-pakaikan dengan mudah.

Secara nasional peta mangrove disusun oleh kelompok kerja mangrove nasional yang terdiri atas kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK), Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

Peta ini berisi informasi terkait eksisting tutupan vegetasi mangrove yang berdasarkan SNI 7717-2020 tentang spesifikasi informasi geospasial mangrove, yang dibagi menjadi 3 kelas kerapatan tajuk, yaitu lebat, sedang dan jarang. Peta ini sekaligus sebagai rujukan nasional untuk kebijakan keruangan dari eksosistem mangrove.

Proses pembaharuan peta mangrove nasional dilakukan dengan menggunakan citra satelit secara komposit, sehingga bisa digunakan untuk analisis kerapatan vegetasi dan updating. klasifikasi tutupan tajuk pada skala 1:50.000 mengunakan kategori lebat dengan tutupan lebih dari 70 persen, kategori sedang dengan tutupan 30-70 persen, dan klasifikasi mangrove jarang dengan tutupan kurang dari 30 persen.

Pemetaan ekosistem mangrove dalam skala detail di seluruh kota-kota pesisir di Indonesia perlu dilakukan sebagai bagian terintegrasi dari perencanaan perkotaan. Pemetaan juga akan menyediakan informasi geospasial untuk mendukung pengelolaan mangrove yang komprehensif dan inklusif untuk mitigasi dampak pemanasan global.*

TERKAIT