LPPHI Riau Minta Kapolres dan Kejari Dumai Turun Tangan Usut Tuntas Oknum Mafia Surat Tanah.

Ket Foto : Bapak Halim saat memberikan keterangan kepada mimbarnegeri.com dikediamannya

Mimbarnegeri.com. Munculnya permasalahan Keagrariaan di Kelurahan Lubuk Gaung dan Kelurahan Tanjung Penyembal Kecamatan Sungai Sembilan Kota Dumai diduga   kuat ulah mafia tanah dan mafia surat tanah.

Dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oknum mafia dengan menghalalkan segala cara, tak bisa ditolerir dan harus dihentikan. Oleh sebab itu diminta kepada Kepolisian dan Kejaksaan Dumai turun tangan mengusut sampai tuntas dugaan mafia tanah dan mafia surat tanah di Kota Dumai ujar Harianto Ketua LPPHI (Lembaga Pencegah Perusak Hutan) Riau Rabu baru baru ini.

Menurut Harianto tindakan tegas terhadap mafia sangat penting mengutip penegasan “Kapolri Jenderal  Lystio Sigit Prabowo dalam setiap kesempatan kepada wartawan Kapolri mengingatkan Jajarannya bahwa Mafia Tanah telah meresahkan masyarakat harus ditindak tegas termasuk para pembekingnya”. Pernyataan serupa juga disampaikan Jaksa Agung RI. ST. Burhanuddin “bila mengetahui adanya mafia tanah disekitar masyarakat Laporkan agar diambil tindakan tegas”. Penegasan itu sebagai tindak lanjut sebagaimana yang disampaikan Presiden Ri Joko Widodo bahwa “mafia tanah harus diberantas”. Namun para mafia tanah dan mafia surat tanah di Kota Dumai terindikasi tak bergeming sehingga menimbulkan tanda tanya ada apa..? terangnya.
 

Harianto aktifis Lingkungan Hidup ketika diminta tanggapannya seputar mafia tanah dan mafia surat tanah yang diduga belum tersentuh hukum mengatakan bahwa mafia tanah dan mafia Surat tanah yang terjadi diwilayah hukum Kota Dumai boleh dibilang kebal hukum, karena sampai hari ini masih saja gentayangan meresahkan, meski gencar diberitakan soal Indikasi mafia surat tanah, informasinya semakin menjadi-jadi ujarnya.

Sinyalemen dugaan Mafia surat tanah marak diberitakan bisa jadi adanya dukungan modal dari cukong tanah, disebabkan pengaruh dari harga tanah dikawasan Industry Lubuk Gaung khususnya tanah yang berada disepanjang pantai Lubuk Gaung dan Kelurahan Tanjung Penyembal melambung tinggi, “dibandrol permeter persegi dengan harga Rp.1.200,000,- hingga Rp.1.500.000,-“ harga yang sangat fantastis dan menggiurkan.

Sehingga mafia tanah dan mafia surat tanah dengan segala macam cara pun dilakukan untuk mendapatkan bidang tanah, persoalan belakang. Fenomena ini bukan lagi menjadi rahasia. Warga netizen telah mencatat bahwa telah terjadi dugaan mafia surat tanah di Kota Dumai. Kuat dugaan mafia tanah  “berkolaborasi” dengan para cukong tanah, jangan-jangan ada keterlibatan Lurah dan Camat maka tak pula berlebihan jika permasalahan Keagrariaan akhir-akhir ini di kota Dumai mencuat kepermukaan, ungkapnya.

Harianto pemerhati lingkungan yang mengikuti pemberitaan soal dugaan mafia tanah dan mafia surat tanah di Kota Dumai telah diramaikan di medsos bahwa “Surat Tanah berjalan mencari - cari tanah” dan “orang yang sudah meninggal disebut sebut menanda tangani surat tanah”, sepertinya oknum mafia yang membuat surat tanah yang diduga illegal itu tidak ada rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Esa, lebih celakanya pemilik tanah yang sebenarnya di jadikan korban   seperti yang terjadi terhadap Ocu Nurdin selaku ahli waris Teleng pemilik lahan di RT-015 Kelurahan Lubuk Gaung Ocu Nurdin di Polisikan ujar Harianto Rabu (24/05/2023)

Menurut Harianto untuk menelusuri dugaan mafia surat tanah sangat sederhana sumbernya diduga ada di kantor Lurah dan Camat penyebabnya bisa jadi adanya keterlibatan mantan Kepala Desa terkait dugaan menerbitkan Surat Keterangan (SK). Kades kala itu tanpa melihat lokasi dan mungkin dibuat “diatas meja”, SK dibuat asal-asalan dan pembuatan surat keterangan tanah tersebut jangan-jangan dibuat berlaku surut. Seolah olah olah SK tanah Kades tersebut legal dibuat pada saat Kades menjabat. Lalu Surat Keterangan itu dijadikan sebagai dasar untuk bertransaksi ganti rugi tanah yang belakangan ini menimbulkan permasalahan Keagrariaan ujarnya.

Berdasarkan data yang dirangkum Tim pencari fakta mimbarnegeri.com dan LPPHI Riau ada 11 (sebelas) buku surat tanah Sporaik dan SKGR yang diduga bermasalah, namun setelah ditelusuri terkait 11 Surat Keterangan Sporadik dan SKGR dimaksud produk tahun 2011 dan 2016 disebutkan terletak di RT-015 Kelurahan Lubuk Gauang bahwa Sporadik dan SKGR tersebut sementara ini 2 diantaranya terindikasi ada kejanggalan soal letak tanah yang pertama Register  No : 736/SKGR-SS/2011 tanggal 13 Oktober 2011 atas nama Dwi Eka Farina Lokasi Jl.PU Lama/Leban Putih RT-015 Kelurahan Lubuk Gaung Kecamatan Sungai Sembilan ditanda tangani Lurah Lubuk Gaung dan Camat Sungai Sembilan.

Penerbitan SKGR tersebut berdasarkan surat dasar No.02/SK/LBG/1989 tanggal 27-01-1989 atas nama Halim  dengan luas lahan 6 Jalur di ganti rugi oleh Dwi Eka Farina (anak kandung Djunaidi Zhang alias Ayu Djunaidi)  dikutip dari pernyataan Halim ditanda tangani diatas kertas bermeterai cukup.

Sementara data atas bidang tanah Ocu Nurdin berdasarkan Surat Blok Tebas Tebang No.01/L.B.G/1984 atas nama Teleng  diterbitkan Ketua RK dan Ketua RT Desa Lubuk Gaung yang ketika itu belum terjadi pemekaran wilayah Lokasi lahan Kecamatan Bukit Kapur yang luasnya diperkirakan + 40 han hektar, telah dipecah dipindah tangankan kepada pihak lain, bahkan telah memiliki SHM (Sertifikat Hak Milik) sebanyak 5 buku SHM dan sebahagian SKGR sisnya sekitar 8 ha sedang dalam pengursan pensertifikatan ke BPN namun surat Asli Tebas Tebang No : 01/L.B.G/1984 utu telah disita Polres Dumai dari Kantor BPN Dumai.
 

Muncul lagi SKGR berikutnya yang ke dua atas nama Jubaini Reg. Nomor : 1327/SKGR-SS/2016 tanggal 20 Desember 2016 dengan luas 6.650 meter persegi lokasi Jl. PU lama/Jl.Leban Putih RT-015 Kelurahan Lubuk Gaung. Sebagai penerima ganti rugi dalam SKGR tersebut M. Ali Ismail alias Ali Gonjeng berdasarkan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah/ Sporadik No.068/SPRD-LG/2016 tanggal 24 Oktober 2016 atas nama M. Ali Ismail.

Diduga penerbitan Sporadik a.n M. Ali Ismail dan SKGR tersebut dinilai beberapa kalangan  janggal, sangat mencolok, baik letak fisik tanah maupun Sporadik dan SKGR bisa jadi perbuatan maladministrasi, sebab begitu gampangnya Lurah Lubuk Gaung dan Camat Sungai Sembilan menerbitkan Sporadik  Sementara itu jarak penerbitan Sporadik dengan penerbitan SKGR hanya 54 hari dalam tahun yang sama sehingga muncul pertanyaan warga netizen, bahwa penerbitan Sporadic tersebut berdasarkan garapan tapi tak punya  alas hak, contoh  “tebas tebang” karena tak jelas alas haknya kemudian direkayasa.

Sporadik  dan SKGR sebanyak 11 buku yang diduga bermasalah itu menjadi dokumen LPPHI dan Tim Pencari fakta mimbarnegeri.com sebagai bahan lanjutan untuk dipublikasikan di media ini. (Tim)


TERKAIT