Ganti Rugi Lahan Tol Pekanbaru-Bangkinang Berpotensi Picu Konflik

KAMPAR - Pembangunan tol Pekanbaru-Bangkinang terancam tidak selesai menjelang akhir tahun. Kelanjutan proyek strategis nasional yang diminta Presiden Joko Widodo selesai jelang pergantian tahun ini ternyata tengah bermasalah.

Hingga kini, masih ada 500 meter tanah di jalan membelah Kabupaten Kampar itu belum terselesaikan ganti ruginya. Di sisi lain, ada ketimpangan soal harga karena ada yang menerima Rp600 ribu per meter dan ada pula Rp30 ribu per meter.

Perbedaan ini membuat warga yang tanahnya terambil untuk Tol Pekanbaru-Bangkinang protes. Riak-riak jeritan warga mulai mengemuka bahkan bisa menjadi konflik terbuka jika sisa tol ini tetap dibangun tanpa kesetaraan ganti rugi.

Kejati Riau yang mendapat arahan Presiden Jokowi menyukseskan pembangunan ini sudah berusaha menyelesaikan. Sebagai pengacara negara, jaksa sudah meminta kepada Gubernur Riau Syamsuar, Bupati Kampar Catur Sugeng serta pihak terkait membentuk tim.

"Kami sarankan bentuk tim mengawal tapi tidak direspon, pertemuan ini juga dihadiri oleh Hutama Karya, Hutama Karya Infrastruktur dan Hutama Karya Aston," kata Asisten Intelijen Kejati Riau Raharjo Budi Kisnanto.

Awalnya, sambung Raharjo, pembebasan lahan di Tol Bangkinang-Pekanbaru terkendala 2,5 kilometer. Pihak Hutama Karya datang ke Kejati meminta persoalan ini diselesaikan.

"Itu awal September, kemudian kami menggunakan cara-cara intelijen menyelesaikan, sekarang pembebasan lahan kurang dari 500 meter lagi," kata Raharjo, seperti yang dilansir dari liputan6.

Hasil penelusuran jaksa menemukan kesenjangan harga yang tidak pantas. Ada warga yang hanya ditawarkan ganti rugi Rp30 ribu per meter tapi di sisi lain ada warga yang ditawarkan Rp600 ribu.

Kejati Riau kemudian berkoordinasi dengan Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dari koordinasi ini diketahui nilai yang berbeda berasal dari penilaian Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP).

"Kita saran kan baik-baik pada KJJP karena hanya menilai setara eksisting lahan di tempat tadi tapi tidak di overlay dengan RTRW di Kampar," jelas Raharjo.

Hanya saja, KJJP sebagai lembaga yang mengaku independen dan tidak bisa diintervensi tak menyambut baik masukan jaksa. KJJP akhirnya tidak mau menilai ulang lagi soal ganti rugi lahan.

Kendala ini kemudian dirembukkan lagi. Kontraktor mengaku tak mempermasalahkan jika dilakukan penilaian ulang tapi lagi-lagi KJPP menolak.

"Memang penilaian kewenangan mutlak KJPP, jalan terakhir dalam bentuk konsinyasi di mana dalam jangka waktu 14 hari akan muncul penetapan," imbuh mantan Kajari Semarang ini.

Sementara itu, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejati Riau Dzakiul Fikri menuturkan, pada Maret 2021 lalu, pihaknya diminta pendapat hukum tentang perda tol Pekanbaru Bangkinang.

"Di Perda lama itu bukan kawasan hutan, ternyata di Perda 10/2018 itu kawasan hutan, itu merujuk surat menteri LHK, " ungkapnya.

Menurut Fikri, pada prinsipnya negara tidak boleh membayar kalau itu kawasan hutan. Namun, kemudian menjadi pelik karena keberadaan warga sehingga lokasi itu harus dikeluarkan dari kawasan hutan.

Fikri menambahkan, Kejati Riau sesuai perintah Jaksa Agung mendukung proyek strategis nasional ini. Namun, perlu diselesaikan persoalan di lapangan karena proyek ini tidak boleh berhenti.

"Kita rangkul para pihak, hindari kegaduhan," ucapnya.

Dia menyebut selalu memberikan pendapat hukum kepada Pemerintah Provinsi Riau untuk mendampingi pembangunan tol ini. Hanya saja pendapat ini tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah.

"Setelah kami kasih pendapat hukum, tidak ada perkembangan informasi dari pemprov, baru Agustus kemarin muncul lagi," jelas Fikri. *

TERKAIT