Tanah Negara Diperjual Belikan, Pemilik Alat Berat Diperas, Green Policing Sebagai Pilisi Lingkungan Diuji
Kampar, Mimbarnegeri.com --|| Ditengah gencarnya Polda Riau menggaungkan Green Policing untuk kemaslahatan makhluk hidup dengan menjaga dan melestarikan lingkungan sehingga Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan terjun langsung memberikan kuliah umum di Perguruan tinggi dan sekolah-sekolah termasuk Kampus UIR, yang sudah digelar di Auditorium Rektorat lantai IV pertengahan April lalu (Kamis,17/4/25).
Dalam paparannya kala itu, Kapolda menyampaikan konsep Green Policing yakni sebuah pendekatan strategis yang menyatukan tugas kepolisian dengan kepedulian lingkungan hidup. Gagasan ini disambut antusias seluruh pimpinan dan civitas akademika Universitas Islam Riau.
“Green Policing bukan hanya strategi, tapi arah baru pemolisian yang lebih inklusif, humanis, dan berpijak pada nilai-nilai keberlanjutan,” tegas Irjen Herry dalam pemaparannya. Menurut Kapolda, Provinsi Riau selama ini dikenal sebagai wilayah rawan deforestasi, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta konflik pengelolaan sumber daya alam. Sehingga, menjawab tantangan tersebut, Green Policing hadir sebagai solusi yang memadukan tugas-tugas penegakan hukum dengan prinsip keberlanjutan.

Akan tetapi gagasan mulia yang diprakarsai Kapolda Riau ini ternoda oleh perbuatan seorang anggota LSM di Kotagaro Kecamatan Tapung Hilir Kabupaten Kampar Riau. Bagaimana tidak, ketika upaya perbaikan lingkungan gencar dikampanyekan, oknum LSM yang bernama Putra Alam Perkasa ini aktif memeras pemilik alat berat berupa Ekscapator, tak tanggung Putra membebani setiap hektar yang disteaking dikenakan uang “takut” sebesar Rp.2.000.000,- (Dua Juta Rupiah) bagi setiap Alat berat.
Ada 4 alat berat yang bekerja ditanah Negara yang diperkirakan sudah mencapai ratusan hektar dari informasi transaksi pembelian lahan yang dikabarkan kepada mimbarnegeri.com.
Mendengar informasi adanya praktek tak terpuji yang dilakukan para pialang tanah ini 3 LSM masing-masing Pimpinan Wilayah Apresiasi Lingkungan dan Hutan Indonesia (ALUN) Provinsi Riau Ir.Ferdi, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) BAI (Badan Advokasi Indonesia ) dan DPN Lidik Krimsus Sofyan,SH didampingi DPD Aliansi Kajian Jurnalis Independen Indonesia (AKJII) Provinsi Riau Syaiful Aula turun langsung kelapangan menbuktikan kebenaran informasi tersebut yang kemudian membentuk tim bersama.
Hasilnya sungguh mencengangkan, memasuki kawasan sempada Sei.Tapung itu telah dipasang ampang-ampang agar orang tidak dapat secara leluasa masuk ke areal tersebut, namun pada saat Tim memasuki areal dimaksud palang besi tersebut sedang tidak terkunci sehingga dengan bebas dapat mendokumentasikan seluruh aktivitas dan kegiatan diareal yang masih menyisakan belukar lebat itu.

Menurut Ferdi jika merujuk pada peta tata ruang Riau, wilayah yang sedang disteaking tersebut masih berstatus wilayah konservasi dan DASS, sementara lahannya disebut-sebut sebagai lahan APL (Areal Peruntukan Lain), Tim belum mendapatkan penjelasan sejak kapan wilayah tersebut diputihkan.
Berdasarkan catatan yang tersedia bahwa wilayah Kotagaro dan beberapa desa lainnya dalam wilayah Kecamatan Tapung Hilir adalah wilayah Konservasi sebagaimana Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.348/Kpts-II/1999 tanggal 26 Mei 1999 seluas 6.172 ha masuk dalam wilayah Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim (Tahura SSH) yang meliputi 3 wilayah Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Kampar, Kabupaten Siak dan Kota Pekanbaru.
Selanjutnya terbit pula SK Menhut No.107/Kpts-II/20023 tanggal 24 Maret 2003 tentang penyelenggaraan tugas pembantuan pengelolaan Tahura SSH oleh Gubernur Riau. Menindak lanjuti Keputusan Menhut tersebut Gubernur Riau membentuk UPT Tahura sebagai pengelola Tahura SSH melalui Pergub No.44 Tahun 2008 tanggal 24 Desember 2008 dimana instsitusi ini berada dibawah naungan Dinas Kehutanan Provinsi Riau.

Namun pada tahun 2012 Menteri Kehutanan RI, melalui SK No.SK.765/Menhut-II/2012 tanggal 26 Desember 2012 ditetapkan kawasan hutan seluas 146.734 ha sekaligus dinobatkan menjadi KPHP Model Minas-Tahura yang terdiri dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 140.734 ha dan Tahura SSH seluas 6.172 ha.
Sangat jelas jika merujuk SK No.SK.765/Menhut-II/2012, maka wilayah yang diperjual belikan tersebut masih berstatus kawasan hutan, akan tetapi perubahan pada peta indikatif bisa saja terjadi perubahan dari hutan menjadi APL, namun demikian walaupun sudah diputihkan / dilepas, tanah itu belum otomatis menjadi hak masyarakat, melainkan tetap tanah negara sampai diberikan hak melalui prosedur resmi (HGU, SHM, redistribusi, perhutanan sosial, dll). Artinya: memperjual-belikan tanah negara, termasuk eks-kawasan hutan yang sudah diputihkan, tetap merupakan tindakan ilegal.
Potensi Pelanggaran Hukum
Tindak Pidana Kehutanan
Salamuddin Purba Ketua Perkumpulan Penggiat Penyelamatan Kekayaan Daerah (P3KD) Provinsi Riau mengatakan, “Jika kegiatan dilakukan di kawasan hutan yang belum dilepaskan, maka dapat diberlakukan Pasal 92 dan 94 UU Kehutanan, ancamannya cukup menggiurkan yaitu Penjara 5–15 tahun dan Denda hingga Rp 10 miliar” jelas Purba yang juga aktif sebagai penggiat lingkungaan hidup.
Tindak pidana mencakup, menguasai kawasan hutan tanpa izin, merambah atau mengolah kawasan hutan, melakukan penebangan atau land clearing, melakukan jual beli lahan dalam kawasan hutan adalah baagian dari tindak pidana dimaksud.

Jika kawasan yang diperjual belikan itu sudah APL dan masih berstatus tanah Negara, maka Tindak Pidana Agraria / Pertanahanlah yang harus disandang mereka, Jika pejabat desa atau camat menerbitkan SKT/Surat Keterangan Tanah untuk tanah negara, maka melanggar, Pasal 2 jo. Pasal 3 UU Tipikor (Penyalahgunaan Wewenang).
Apa lagi ada kerugian Negara akibat penyalahgunaan jabatan, Pemberian fasilitas yang menguntungkan pihak tertentu, maka ancaman Penjara 4–20 tahun Denda Rp 200 juta – Rp 1 miliar. Tidak itu saja Pasal 385 KUHP Pemalsuan atau penyerobotan tanah Negara juga bagian yang dapat dikenakan kepada mereka yang memperjual belikan tanah Negara tanpa izin.
Bukan hanya sampai disitu, Purba juga menekankan masih terdapat Tindak Pidana Mafia Tanah, jika mengacu pada kebijakan Satgas Mafia Tanah seperti Sertifikat illegal, SKT fiktif dan Penyerahan tanah negara ke pihak tertentu Hal ini dapat dijerat dengan UU Tipikor. “Jadi sekarang tidak bisa lagi para mafia tanah bermain dengan cara-cara ‘unjuk kekuatan dan unjuk kekuasaan’, mereka dapat dijerat dengan UU berlapis” jelas opung Purba pada mimbarnegeri.com.
Akankah para pialang tanah yang merupakan Mafia atau sindikat ini segera ditindak? atau mereka dibiarkan bebas berbuat sekehendak mereka dengan mengabaikan hukum, apalagi Putra Alam Perkasa salah seorang anggota LSM Marfel ini telah menyeret Polda Riau dengan menyebut bagaimana kordinasinya dengan Polda Riau, seolah Polda Riau tahu aksi peras memeras yang dilakukan Putra *salman




Tulis Komentar