Jimmy Wijaya Diduga Broker di Dua Proyek Alutsista, SSC Minta KPK Bertindak

Foto istimewa.

Jakarta, Mimbarnegeri.com - Lembaga kajian kebijakan Siasat Strategis Center (SSC) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pengawasan dan penyelidikan menyeluruh terhadap pengadaan kapal Offshore Patrol Vessel (OPV) dan tender fregat TNI Angkatan Laut (TNI AL). Desakan ini muncul setelah beredar dugaan adanya peran broker yang berpotensi merugikan negara.

Melalui video berdurasi kurang dari lima menit yang viral di media sosial, pengamat kebijakan pertahanan Paijo Parikesit mengungkap adanya pola sistematis yang melibatkan seorang broker bernama Jimmy Wijaya. Menurut SSC, nama Jimmy konsisten muncul dalam dua proyek besar pengadaan alutsista, yakni Tender Fregat 2020 dan Proyek OPV 2023–2024.

Paijo menjelaskan, keterlibatan broker yang bukan berasal dari entitas industri pertahanan dinilai dapat menggeser orientasi pengadaan dari kebutuhan strategis menjadi ajang komersial, membuka ruang mark-up dan pembagian fee. SSC menilai pola ini menyalahi prinsip transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

SSC merinci, Proyek OPV 2023–2024 memiliki nilai kontrak sekitar Rp 2,16 triliun untuk dua kapal (Hull 406 dan Hull 411). Kontrak dimulai sejak 2020, namun progres pekerjaan baru mencapai 35 persen hingga Maret 2023, dan kapal baru diluncurkan pada September 2024. Kondisi ini dinilai menunjukkan keterlambatan, inefisiensi, dan potensi pemborosan pembayaran termin.

Berdasarkan perhitungan SSC, potensi kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah akibat keterlambatan dan dugaan mark-up antara 5–10 persen dari nilai kontrak. Selain kerugian finansial, SSC juga menyoroti dampak non-moneter berupa penurunan jam patroli dan kesiapan operasional TNI AL.

Dalam kajiannya, SSC juga menyoroti adanya pola sistematis dalam proses pengadaan yang disebut sebagai “brokerisasi”.

Pola tersebut mencakup empat tahap:

1. Identifikasi kebutuhan alutsista.

2. Penentuan spesifikasi teknis dan calon penyedia.

3. Penetapan nilai proyek dan sumber pembiayaan.

4. Tender dan kontrak finalisasi.

Menurut SSC, broker berperan mengatur pemenang tender dan berpotensi menerima komisi hingga 15 persen dari nilai kontrak. Dugaan deviasi juga muncul dalam bentuk penunjukan langsung terselubung, pelanggaran pada mekanisme Letter of Credit (L/C) dan offset policy, hingga dugaan keterlibatan oknum internal di Kementerian Pertahanan (Kemhan) maupun vendor asing.

SSC menilai praktik ini melanggar prinsip kemandirian industri pertahanan nasional, karena UU Nomor 16 Tahun 2012 mewajibkan pengadaan alutsista memprioritaskan produk dalam negeri dan hanya melibatkan pihak asing bila teknologi dalam negeri belum tersedia.

Lima Langkah Konkret untuk KPK

SSC merekomendasikan lima langkah strategis kepada KPK, yakni:

1. Melakukan audit forensik atas seluruh pembayaran proyek OPV.

2. Menyelidiki aliran fee broker dan kemungkinan suap.

3. Membekukan pembayaran mencurigakan hingga hasil audit selesai.

4. Memasukkan broker yang terbukti ke daftar hitam nasional.

5. Mendorong transparansi kontrak strategis pertahanan kepada publik.

Menurut Paijo, mengusut peran perantara seperti Jimmy Wijaya adalah pintu masuk untuk membongkar praktik kotor dalam pengadaan alutsista, yang berisiko melemahkan daya tangkal pertahanan nasional.

Konteks politik nasional turut memperkuat tekanan publik. Presiden Prabowo Subianto beberapa kali menyampaikan pernyataan tegas soal pemberantasan korupsi, menegaskan komitmen untuk menindak siapa pun tanpa pandang bulu. Sikap presiden ini dipandang pengamat sebagai dorongan politik bagi aparat penegak hukum, termasuk KPK, untuk mengambil langkah cepat dan transparan terhadap dugaan praktik korupsi di sektor pertahanan.

Para pengamat hukum dan antikorupsi menilai bahwa sinergi antara tekanan publik dan komitmen pemerintah dapat memperkuat legitimasi langkah investigatif lembaga penegak hukum. Jika ditemukan bukti awal mengenai keterlambatan, aliran dana mencurigakan, atau mark-up, audit forensik dan pelacakan aliran dana menjadi keharusan untuk memastikan akuntabilitas publik.

Hingga berita ini diterbitkan, KPK belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan kasus maupun nama yang disebut SSC. Pihak-pihak yang disebut dalam video juga belum memberikan klarifikasi publik yang dapat diverifikasi.

Masyarakat sipil kini menantikan langkah konkret dari KPK untuk memastikan proses hukum berjalan adil, transparan, dan kredibel, sekaligus menjadi momentum perbaikan tata kelola pengadaan alat pertahanan negara.*jef

TERKAIT