Bogan Sembiring, Pewaris Kebun Kelapa Sawit Dari Hasil Perusakan Lingkungan Dan Hutan Tanpa Izin?

Foto : Kebun Bogan Sembiring diduga berada dalam kawasan hutan Kampar Kiri

Kampar Riau, mimbarnegeri.com —|| Di balik hamparan kebun sawit yang membentang luas di wilayah Desa Sei.Sarik, Kecamatan Kampar Kiri Hilir, Kabupaten Kampar, tersimpan jejak panjang perusakan lingkungan dan pemanfaatan kekayaan negara secara ilegal. Ribuan hektare hutan produksi terbatas yang dulunya berfungsi sebagai penyangga ekosistem kini telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, diduga kuat tanpa melalui proses izin yang sah.

Masyarakat setempat menyuarakan keresahan dan mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk segera mengusut praktik alih fungsi hutan yang dilakukan secara terang-terangan. Salah satu sorotan utama adalah kebun sawit seluas ± 1.200 hektare yang disebut-sebut milik keluarga Turia Sembiring dan kini diwarisi oleh anaknya, Bogan Sembiring. Dari total tersebut, sekitar 800 hektare berada di wilayah Sei.Sarik, sementara sisanya tersebar di lokasi sekitar.

Menurut keterangan warga, aktivitas pembukaan hutan dan penanaman sawit di kawasan tersebut dilakukan tanpa izin resmi dari otoritas kehutanan, sehingga dinilai melanggar ketentuan perundang-undangan, khususnya Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), yang melarang kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin.

Kebun Bogan Sembiring di Desa Sei.Sarik Kec.Kampar Kiri Kab.Kampar Riau

S. Effendi Nas, seorang pemerhati lingkungan dari Riau, menyampaikan bahwa praktik seperti ini tidak hanya mencerminkan kejahatan lingkungan, tetapi juga merupakan bentuk penguasaan dan pemanfaatan kekayaan negara tanpa izin.

“Hutan adalah kekayaan negara. Tanahnya juga aset negara. Ketika ada pihak yang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi tanpa izin, itu sudah masuk dalam kategori tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Tipikor,” ungkap Effendi dengan tegas.

Lebih jauh, Effendi menilai bahwa praktik konversi hutan menjadi kebun sawit dalam skala besar seperti ini merupakan indikasi kuat adanya jaringan mafia kehutanan, yang diduga melibatkan pihak-pihak berpengaruh serta lemahnya fungsi pengawasan dari instansi terkait.

“Jika rakyat membuka lahan 1 atau 2 hektare untuk menanam padi atau jagung, itu bisa kita maklumi sebagai upaya bertahan hidup. Tapi kalau sampai ratusan hingga ribuan hektare, apalagi dilakukan tanpa izin dan secara sistematis, itu sudah jelas merupakan kejahatan yang tidak bisa ditoleransi,” tambahnya.

Masyarakat Sei.Sarik kini menuntut ketegasan negara untuk menertibkan kawasan tersebut dan memulihkan kembali fungsi hutan demi kelestarian lingkungan dan keadilan antar generasi. Selain itu, mereka berharap Bogan Sembiring dan pihak-pihak terkait segera diperiksa atas dugaan tindak pidana lingkungan dan korupsi karena memanfaatkan hutan negara tanpa izin.

“Generasi sekarang tidak boleh mewariskan kehancuran kepada anak cucu. Hutan yang rusak, air yang tercemar, dan tanah yang mati akibat kerakusan adalah bentuk nyata kejahatan lingkungan yang harus dihentikan sekarang juga,” pungkas Effendi.

Kasus ini menjadi potret buram bagaimana kekayaan negara yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, justru dikuasai segelintir orang untuk kepentingan pribadi—tanpa izin, tanpa kontrol, dan tanpa rasa tanggung jawab terhadap lingkungan dan masa depan.*salman

TERKAIT