KPK Perintahkan Eks Kepala Kanwil BPN Riau Kooperatif

PEKANBARU - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta eks Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M Syahrir kooperatif dalam penanganan perkara dugaan suap pengurusan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari (AA). Syahrir telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

Pengumuman penetapan tersangka terhadap Syahrir disampaikan langsung oleh Ketua KPK, Firli Bahuri, Kamis (27/10/2022) malam. Selain Syahrir, KPK menetapkan pemegang saham PT AA, Frank Wijaya dan General Manager PT AA, Sudarso, sebagai tersangka.

KPK langsung melakukan penahanan terhadap Frank Wijaya di Rutan Polres Jakarta Selatan selama 20 hari. Sementara Syahrir tidak memenuhi panggilan penyidik untuk dimintai keterangannya sedangkan Sudarso telah terlebih dahulu dilakukan penahanan di Lapas Kelas I A Sukamiskin.

"Memerintahkan kepada saudara MS untuk memenuhi panggilan Tim Penyidik dan mengimbau agar yang bersangkutan kooperatif hadir," tegas Juru Bicara KPK, Ipi Maryati Kuding, Jumat (28/10/2022).

Ipi mengatakan, Tim Penyidik akan melakukan penjadwalan pemanggilan ulang terhadap Syahrir. Jika tidak datang untuk kedua kalinya, maka akan dilakukan upaya jemput paksa agar Kepala Kanwil BPN Riau periode 2019-2022 ini dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Ipi mengatakan pada Rabu (26/10/2022), Syahrir memenuhi panggilan Tim Penyidik untuk dimintai keterangan sebagai saksi bersama ASN, Eri Suwondo. Namun pada Kamis, Syahrir tak muncul lagi memenuhi panggilan Rim Penyidik ke gedung Merah Putih KPK

Syahril diduga menerima suap sebesar 120.000 Dollar Singapura atau sekitar Rp1,2 miliar terkait pengurusan perpanjangan sertifikat HGU PT AA yang akan berakhir di 2024. Suap itu diberikan Sudarso di rumah dinas Syahrir.

“Sekitar September 2021, atas permintaan MS, penyerahan uang SGD 120.000 dari SDR dilakukan di rumah dinas MS dan MS juga mensyaratkan agar SDR tidak membawa alat komunikasi apapun," jelas Ipi.

Diketahui perkara ini merupakan pengembangan fakta persidangan kasus suap yang menjerat Bupati Kuantan Singingi (Kuansing), Andi Putra dan General Manager PT AA di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, baru-baru ini. Andi Putra telah dinyatakan terbukti bersalah dan vonis penjara 5 tahun 7 bulan, denda Rp200 juta subsidair 4 bulan.

Kasus berawal ketika Frank Wijaya memerintahkan Sudarso melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU PT AA yang segera akan berakhir masa berlakunya pada 2024. Dari awal proses pengurusan HGU tersebut, Sudarso selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya pada Frank Wijaya.

Selanjutnya Sudarso menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan Syahrir selaku Kepala Kanwil BPN Riau untuk membahas perkembangan HGU PT AA. Sekitar Agustus 2021, Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuansing, yang salah satunya diajukan ke Singingi yang salah satunya ke Kanwil BPN Provinsi Riau.

Sudarso kemudian menemui Syahrir di rumah dinas jabatannya, dan dalam pertemuan tersebut diduga ada permintaan uang oleh Syahrir sekitar Rp3,5 miliar dalam bentuk Dollar Singapura dengan pembagian 40 persen sampai 60 persen sebagai uang muka. Syahrir menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA.

Pertemuan itu dilaporkan Sudarso ke Frank Wijaya. Selanjutnya, Sudarso mengajukan permintaan uang SGD 120.000 atau setara Rp1,2 Miliar ke kas PT AA dan disetujui oleh FW. Uang itulah uang diserahkan Sudarso di rumah dinas jabatan Syahrir pada September 2021.

Setelah menerima uang tersebut, Syahrir kemudian memimpin ekspose permohonan perpanjangan HGU PT AA. Kemudian menyatakan usulan perpanjangan bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Bupati Kuansing.

Atas rekomendasi tersebut, Frank Wijaya kemudian memerintahkan dan kembali menugaskan Sudarso untuk mengajukan surat permohonan ke Andi Putra dan meminta supaya kebun kemitraan PT AA di Kampar dapat disetujui menjadi kebun kemitraan.

"Dilakukan pertemuan antara SDR dan Andi Putra. Dalam pertemuan tersebut Andi Putra menyampaikan bahwa kebiasaan dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 persen Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya dibangun di Kabupaten Kuasing dibutuhan minimal uang Rp2 miliar,"

"Diduga telah terjadi kesepakatan antara AP dengan SDR dan hal ini juga atas sepengetahuan FW terkait adanya pemberian uang dengan jumlah tersebut. Sebagai tanda kesepakatan, sekitar bulan September 2021, diduga telah dilakukan pemberian pertama oleh SDR kepada AP uang sebesar Rp500 juta," jelas Ipi.

Berikutnya pada 18 Oktober 2021, Sudarso diduga kembali menyerahkan kesanggupannya tersebut kepada Andi Putra dengan menyerahkan uang sekitar Rp200 juta. Namun, Sudarso ditangkap tim KPK, dan uang dikembalikan ke kas PT AA.

Atas perbuatan itu, Frank Wijaya dan Sudarso sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedang Syahrir sebagai penerima suap melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal
11 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(clc)

TERKAIT