Perlu Kerja Sama Lintas Sektoral Tangani TBC di Riau

Dinas Kesehatan Provinsi Riau menggelar rapat pembentukan tim percepatan Penanggulangan Tuberkulosis (TBC) Provinsi Riau.

PEKANBARU - Tuberkulosis (TBC) di Indonesia dan global masih menjadi masalah kesehatan yang utama. Penyakit ini merupakan satu dari 10 penyebab utama kematian dunia, dan Indonesia adalah negara dengan beban TBC peringkat ke-3 tertinggi setelah India dan China.

Indonesia berkomitmen untuk mencapai eliminasi TBC pada tahun 2030 dengan target insiden rate 65 per 100.000 penduduk dengan angka kematian 6 per 100.000 penduduk.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Riau Zainal Arifin menyampaikan, bahwa berdasarkan global TB report 2021, diperkirakan ada 824.000 kasus TBC di Indonesia.

Namun, pasien TBC yang berhasil ditemukan, diobati, dan dilaporkan ke dalam sistem informasi nasional hanya 393.323 atau 48 persen. Masih ada sekitar 52 persen kasus TBC yang belum ditemukan atau sudah ditemukan namun belum dilaporkan.

Dikatakan dia, bahwa di Provinsi Riau diperkirakan terdapat 27.634 kasus TBC ada dimasyarakat. Namun, pasien TBC yang berhasil ditemukan, diobati, dan dilaporkan ke dalam Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) Tahun 2021 hanya 9.467 atau 34,25 persen.

"Masih ada sekitar 65,75 persen kasus TBC yang belum ditemukan atau sudah ditemukan namun belum dilaporkan," ujar Zainal Arifin, Kamis (6/10/2022) di Pekanbaru.

Ia menerangkan, TBC yang berhasil ditemukan, diobati, dan dilaporkan ke dalam sistem informasi nasional Tahun 2021 di Provinsi Riau lebih banyak dilaporkan oleh puskesmas dengan persentase 59,51 persen.

Sementara, laporan dari rumah sakit pemerintah sebesar 19,52 persen, rumah sakit swasta sebesar 20,65 persen. Sisanya 0,19 persen berasal dari lapas, dan 0.13 persen berasal dari klinik swasta.

Sebutnya, untuk tahun 2022 (sampai tanggal 4 Oktober 2022) diperkirakan terdapat 27.601 kasus TBC, namun yang tercatat di SITB baru mencapai 7,777 kasus atau 28,17 persen.

"Lagi-lagi Puskesmas lah penyumbang terbesar angka penemuan kasus TB ini, yaitu sebesar 61,11 persen, sedangkan rumah sakit pemerintah sebesar 19,08 persen dan rumah sakit swasta 18,71 persen, sisanya dari Lapas atau Rutan sebesar 0,58 persen dan dari klinik swasta sebesar 0,51 persen," ujarnya.

Zaianal mengungkapkan, mestinya laporan kasus TB itu 70 persen berasal dari rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, sisanya yang 30 persen berasal dari puskesmas, dan klinik.

Untuk itu ia mengharapkan, hal ini menjadi perhatian oleh para direktur rumah sakit pemerintah dan swasta, agar meningkatkan komitmennya dalam melaporkan terduga TB maupun kasus TB melalui web resmi laporan TB yakni SITB.

Begitu juga komitmen klinik swasta agar dapat ditingkatkan dalam melaporkan terduga TB maupun kasus TB yang ditemukan dengan berkoordinasi dengan Puskesmas atau dinas kesehatan setempat.

"Harapan kita kepada para direktur rumah sakit pemerintah dan swasta agar Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIM RS) yang menjadi laporan semua penyakit di rumah sakit hendaknya memiliki data  komprehensif," ucapnya.

"Karena, kata Zainal, banyak data SIM RS terutama SIM RS rumah sakit pemerintah yang hanya sampai diagnosis saja, sedangkan data pengobatan, data pemeriksaan penunjang dan data lainnya sesuai dengan kasus per pasien tidak tercatat dengan lengkap pada SIM RS tersebut.

"Sehingga data tersebut tidak dapat di bridging kan dengan SITB," ucapnya.

Sementara itu, Kabid Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinkes Riau Ridwan menambahkan, faktor yang dapat mendukung dalam capaian penemuan kasus TB ini juga dapat dilakukan oleh puskesmas melalui kegiatan investigasi kontak dan screening TB pada populasi beresiko.

Diungkapkan dia, berdasarkan laporan SITB per tanggal 04 Oktober 2022, masih terdapat 2.905 indeks kasus yang belum dilakukan kegiatan investigasi kontak.

Kegiatan investigasi kontak, harap Ridwan, hendaknya mendapat pengawalan yang baik oleh dinas kesehatan kabupaten/kota dengan memastikan anggaran Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) puskesmas mencantumkan kegiatan ini dalam anggarannya.

Selain itu, imbuh Ridwan, dengan kegiatan investigasi Kontak akan dapat menemukan TB laten dan dengan demikian bisa segera memberikan terapi pencegahan tuberkulosis.

Terangnya, TB laten ini ibarat fenomena gunung es, yang jika tidak ditemukan dan diberikan TPT sekitar 5 sampai 10 tahun ke depan menjadi TB aktif.

"Kami meminta kepada pemilik apotik agar dapat melaporkan obat-obat tuberkulosis yang telah dikeluarkan kepada puskesmas atau dinas kesehatan setempat, untuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan penemuan kasus TB di Provinsi Riau," ucapnya.

Ridwan melanjutkan, dalam upaya pengendalian tuberkulosis ada tiga standar yang mesti dilakukan, yaitu standar penegakan diagnosis TB yakni 80 persen terduga diperiksa melalui alat tes cepat molekuler.

Kemudian, standar pengobatan atau obat yang diberikan kepada pasien sesuai dengan jenis Tuberkulosis dan dosis yang diberikan tepat, sesuai dengan standar yang tercantum dalam Permenkes 67 Tahun 2016. Peraturan ini tentang tuberkulosis dan petunjuk teknis penatalaksanaan tuberkulosis resistan obat di Indonesia.

Lalu, Standar pemantauan pengobatan. Hal ini menjadi penting untuk menilai kemajuan pengobatan yang diberikan pasien. Untuk di Riau ini belum berjalan dengan maksimal, karena status akhir pengobatan pasien lebih banyak dengan pengobatan lengkap dibandingkan dengan sembuh.

"Ketiga standar di atas merupakan tanggung jawab petugas Kesehatan di semua lini yang melayani terduga TB maupun kasus TB. Kita berharap ketiganya berjalan dengan baik sesuai harapan. Sehingga ketika standar sudah berjalan baik, maka tentunya hasilnya akan baik pula, dan kasus TB menjadi terkendali," sebutnya.

Selain tiga standar tersebut, imbuh dia, dari aspek pasien juga menjadi amat penting dalam keberhasilan pengobatan.

Ia menyebutkan, banyak pasien TB begitu beberapa minggu, beberapa bulan minum obat TBC dan kondisi membaik, langsung berhenti minum obat sebelum waktunya.

Terangnya, tentunya hal ini menyebabkan banyaknya kasus putus berobat di Riau yang berpotensi menjadi TB Resisten Obat. Jika sudah menjadi TB Resisten Obat, maka jangka waktu pengobatan menjadi panjang yaitu 9 bulan atau sampai 20 bulan.

"Kepada Pengawas Menelan Obat (PMO) baik itu yang berasal dari salah satu keluarga pasien, dari kader, maupun dari petugas kesehatan untuk TB Resisten Obat. Kami harapkan kerja samanya untuk senantiasa mengingatkan pasien dalam minum obat sesuai dengan yang telah disampaikan oleh dokter dan pengobatannya tuntas," ujarnya.

Terakhir Ridwan menuturkan, berkaitan dengan telah terbitnya Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2021 dan telah dibuat turunannya melalui SK Gubernur Riau Nomor 916/V/2022 tentang Tim Percepatan Penanggulangan Tuberkulosis di Provinsi Riau.

Maka melalui SK tersebut, ia mengharapkan peran masing-masing lintas program dan lintas sektor terkait dalam program penanggulangan Tuberkulosis dapat dimaksimalkan dan pada akhirnya eliminasi TB Tahun 2030 dapat dicapai oleh Riau.(*)

TERKAIT