Pendukung Ulama Duduki Parlemen, Irak Kian Kacau 10 Bulan Tak Punya PM

JAKARTA -- Pendukung ulama kenamaan Irak, Moqtada Sadr, kembali menduduki parlemen pada Minggu (31/7), membuat negara kian kacau di tengah kekosongan kursi perdana menteri sejak pemilu 10 bulan lalu.

"Kami mengharapkan yang terbaik, tapi yang kami dapat justru yang terburuk. Politikus di parlemen tak memberikan kami apa-apa," ujar demonstran yang ikut menduduki parlemen, Abdelwahab al-Jaafari, kepada AFP.

Demonstrasi terbaru ini membuat Irak makin larut dalam konflik politik berkepanjangan sejak pemilu digelar 10 bulan lalu, tepatnya pada Oktober 2021.

Saat itu, koalisi politik Sadr sebenarnya meraup suara paling banyak di parlemen, tapi tak cukup untuk membentuk mayoritas.

Setelah berulang kali mencoba, mayoritas tetap tak terbentuk. Hingga akhirnya, parlemen mengajukan sejumlah nama dan koalisi untuk mengisi kekosongan pemerintahan.

Gelombang unjuk rasa terbaru ini muncul akibat keputusan Keranga Kerja Koordinasi di parlemen untuk mencalonkan mantan menteri kabinet, Mohammed Shia al-Sudani, sebagai PM.

Faksi Sudani di parlemen berisi kader-kader musuh bebuyutan Sadr, seperti eks PM Nuri al-Maliki, dan Hashed al-Shaabi.

Sadr pun menyerukan agar pendukungnya bergerak menentang keputusan tersebut. Para pendukung pun sudah sempat menduduki parlemen pada Rabu pekan lalu.

Namun, mereka akhirnya angkat kaki dua jam kemudian, setelah Sadr memerintahkan para pendukungnya untuk pergi.

Di tengah gonjang-ganjing ini, sejumlah badan internasional, seperti Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, mulai khawatir.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mendesak agar pihak-pihak di Irak menggelar "dialog damai dan inklusif."(cnn)

TERKAIT