Darurat Militer di Dua Kota, Internet Myanmar Kembali Diputus

Jakarta -- Junta militer kembali memutus akses internet di Myanmar untuk ketiga kalinya

Pemutusan akses internet kali ini sebagai upaya menutupi tindakan brutal menyusul diberlakukannya darurat militer di kota Hlang Tahyar Yangon dan Swepyitha pada Minggu (14/3).

Salah satu warga Myanmar, Lynn Htet (22) mengatakan militer telah mematikan akses internet seluler dan wifi.

"Mereka sudah mematikan data seluler kami, mereka memutus koneksi internet wifi kami," ujar Lynn kepada wartawan, Senin (15/3).

Lebih lanut Lynn mengatakan junta militer kerap memutus sambungan internet mulai pukul 01.00 dini hari hingga 09.00 pagi. Namun, hingga tulisa ini dibuat, Lynn mengatakan akses internet di Myanmar masih belum dipulihkan.

"Kami hanya memiliki jaringan internet fiber yang tidak stabil. Sebagian besar daerah pedesaan tidak memiliki internet fiber, dan mereka hanya mengandalkan internet seluler," tambahnya.

Sehari sebelum memutus akses internet, aparat keamanan melakukan penyisiran terhadap pendukung Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) mencari pendukung Aung San Suu Kyi hingga ke kota kecil tempat tinggal Lynn di Irawaddy.

Ia menuturkan polisi kerap melakukan penyisiran terhadap warga yang menentang kudeta militer hampir di setiap kota. Di hari yang sama, polisi melepaskan tembakan hingga menewaskan setidaknya empat orang di kota tempatnya tinggal.

"Kemarin malam, mereka baru saja menembak dan membunuh. Bisa saja ada penyisiran malam ini. (Penyisiran) itu tak bisa diprediksi dan mereka melakukannya ketika mereka mau," ujarnya.

"Tidak ada kata-kata untuk menggambarkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kekejaman tidak manusiawi yang dilakukan Junta terhadap rakyat Myanmar. Tolong dukung rakyat Myanmar dan itu adalah aspirasi untuk demokrasi dan hak asasi manusia."

Pemberontakan dan perlawanan rakyat sipil terhadap junta militer Myanmar memang terus meluas sejak kudeta terjadi lebih dari sebulan lalu.

Aparat pun semakin brutal menanggapi para pedemo, di mana sejauh ini, lembaga pemantau hak asasi manusia, Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), melaporkan setidaknya total 140 orang telah tewas dalam bentrokan antara demonstran dan aparat.

"Saya merasa seperti kehilangan masa depan ketika mendengar berita pada 1 Februari. Saya merasa sangat kesakitan dan saya tidak ingin melupakan rasa sakit itu selamanya," kata seorang wanita berusia 23 tahun di sebuah ruang tamu di Yangon yang tidak ingin disebutkan namanya kepada Reuters.(cnn)

TERKAIT