Di Bencah Seratus, Tanah Ulayat Berpindah Tangan, Masyarakat Terpinggirkan,

Foto : Lahan yang bersengketa di Kota Garo

PEKANBARU – Carut-marut konflik agraria di Bencah Seratus, Koto Garo, Tapung, Kampar Kiri, Kampar , Riau menambah derita warga setempat. Tanah ulayat yang telah berpindah tangan ke pengusaha, kini malah diperkuat dengan "pembelaan" oleh oknum Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), yang menghambat warga dalam memanfaatkan sisa lahan mereka.

Lebih dari dua dasawarsa lalu, masyarakat di Bencah Seratus diajak bekerja sama untuk memanfaatkan lahan mereka melalui Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Kelompok tani "Tunas Karya" dibentuk untuk mengelola perkebunan kelapa sawit. Namun, dua dekade berlalu, masyarakat tak kunjung mendapat bagian dari keuntungan perkebunan yang telah berdiri.

Sementara mereka mesti tersingkir dan eksodus ke wilayah lain, baik di sekitar area Tapung sendiri ataupun ke pinggiran Sungai Siak. Parahnya, kini tangan-tangan kekuasaan oknum DLHK turut pula memojokkan dan menghalang-halangi usaha mereka dalam menggarap sepotong tanah yang tersisa.

Berawal lebih dua dasawarsa yang lalu, tepatnya 23 tahun lalu, saat masyarakat tempatan diiming-imingi kerjasama pemanfaatan lahan mereka lewat Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Masyarakat pun diarahkan untuk membentuk kelompok tani bernama "Tunas Karya" guna mengorganisir jalannya kerjasama pendirian dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

Namun 23 tahun berlalu, kebun sawit telah berdiri dan tentunya menghasilkan akumulasi rupiah yang banyak, sementara masyarakat tetap tidak mendapat bagian sama sekali. Seluas hampir seribu hektar dari total 1.200 hektar tanah ulayat telah dimiliki oleh pengusaha keturunan Tionghoa.

Hampir 1.000 dari total 1.200 hektar lahan ulayat itu kini dikuasai oleh pengusaha keturunan Tionghoa. HW (CV ARB) dan KW alias Acin yang merupakan dua pengusaha yang paling dominan dalam penguasaan lahan ini.

Selain hilangnya hak atas tanah, jejak peradaban masyarakat setempat juga dihapus. "Kuburan leluhur dan mushalla kami sudah dibuldozer," ujar Bahar Leli, penduduk asli Bencah Seratus.

Tidak sampai di sana, jalur darat untuk masuk ke sisa-sisa tanah masyarakat yang hanya tersisa kurang lebih 100 hektar pun turut ditutup, sehingga hak servitude penduduk atas lahan mereka diabaikan begitu saja. Padahal ada nelayan yang berpuluh tahun menggantungkan hidup dari aktivitas di tepian sungai, ada pula pekebun karet kecil yang memerlukan jalan tersebut. Apabila mereka mencoba masuk, intimidasi dari preman dan oknum aparat yang membekingi baik pihak kebun Kwancin maupun Hansen telah menanti.

''Ayah saya sudah berkebun karet di sini sejak tahun 1988, tapi belakangan kami tidak bisa masuk. Terpaksa lah kami lewat jalur sungai, dengan sampan atau perahu, yang tentu lebih sulit dan juga mahal. Mau bagaimana lagi, kami tak berani dengan preman dan aparat", cerita Nanda Bahtera, pemilik lahan warisan orangtuanya di daerah tersebut.

Beberapa bulan belakangan, sekira September 2023, dengan niat revitalisasi lahan yang sudah kosong dan tidak produktif (hanya ditumbuhi ilalang meskipun status administratifnya adalah kawasan hutan), beberapa warga lokal berinisiatif menyewa alat berat. Tujuannya adalah berkebun dengan tanaman tua atau tanaman hutan, semisal jengkol, karet ataupun durian.

Namun baru saja mereka berkegiatan di sana untuk mengeruk lahan yang banjir akibat limpahan air dari kanal kebun sawit KW, ratusan aparat DLHK beserta Polhut serta-merta menggeruduk dan menghentikan aktivitas mereka. Aparat-aparat yang hadir tersebut sangat tegas bertindak menyegel lahan atas nama hukum dan perlindungan terhadap kawasan hutan, tanpa mau menyadari bahwa kenyataannya lahan yang mereka sebut hutan di mana mereka tengah berdiri itu sebahagian besarnya adalah ladang sawit ilegal para pengusaha besar.

"Kami hanya bersihkan lahan yang tak sampai 30 hektar mereka bukan main tegasnya. Ini kebun sawit hampir seribu hektar sudah berpuluh tahun ada mereka tutup mata. Dimana keadilan? Kami rakyat kecil hanya ingin membangun pondok untuk tempat berteduh ketika mencari ikan, ingin menanam lahan kami sendiri dengan tanaman tua, mereka bilang harus ada izin menteri. Jauh betul rasanya kami orang kampung ini ingin berurusan dengan menteri di Jakarta sana pula", tutur orang tua dan tokoh tempatan, Mukti Arifin.

Apa yang terjadi di Bencah Seratus ini seharusnya menjadi perhatian, betapa carut-marut konflik agraria masih saja terjadi, dan sebahagian besarnya masih mengorbankan hak masyarakat kecil dan pemilik tanah ulayat. Bahar Leli, selalu perwakilan masyarakat Bencah Seratus saat ini telah mengadukan nasibnya dan membuat laporan resmi ke Polda Riau.

Masyarakat Bencah Seratus terus berharap bahwa pemerintah akan segera bertindak dan aparatur hukum bisa menanggapi laporan mereka, memberi perlindungan, pengayoman dan menghadirkan rasa keadilan bagi komunitas termarginalkan. Jangan sampai idiom "hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas" lagi-lagi jadi kenyataan yang dilestarikan. ***

sumber : Goriau.com

TERKAIT