Harga Minyak Terseret Pengetatan Pasokan AS


Jakarta -- Harga minyak mentah dunia menanjak pada perdagangan Rabu (20/3), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan terjadi setelah data AS menunjukkan pengetatan pada pasokan minyak domestik. Namun demikian, kenaikan harga masih terbatas oleh kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi global akibat perang dagang AS-China yang masih berlangsung.

Dilansir dari Reuters, Kamis (21/3), harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) kemarin naik US$0,8 atau 1,36 persen menjadi US$59,83 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung, WTI sempat menyentuh level US$60,12 per barel, tertinggi sejak 12 November 2018.

Harga kontrak berjangka bukan kedua WTI yang lebih aktif naik US$0,94 atau 1,6 persen menjadi US$60,23 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka Brent sebesar US$0,89 atau 1,32 persen menjadi US$68,5 per barel.

Harga minyak mentah terjadi usai Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) mencatat penurunan persediaan minyak mentah akibat ekspor dan permintaan kilang yang kuat.

Stok minyak mentah AS turun 9,6 juta barel pada pekan lalu. Sebagai pembanding, analis memperkirakan stok minyak mentah akan naik 309 ribu barel. Penurunan ini yang terbesar sejak Juli 2018 dan membuat level persediaan menyentuh level terendah sejak Januari 2019.

Persediaan bensin dan minyak distilasi turun lebih dari yang diperkirakan. Stok bensin turun sebesar 4,6 juta barel. Sementara, stok minyak distilasi turun sebesar 4,1 juta barel.

"Laporan bersifat mendongkrak harga karena penurunan yang besar pada persediaan minyak yang disebabkan oleh rendahnya impor dan tingginya volume ekspor," ujar Partner Again Capital LLC John Kilduff di New York.

Sembari ia juga menambahkan bahwa penurunan persediaan minyak mentah dan produk kilang menegaskan pasar yang mengetat.

Harga minyak mentah telah menguat hampir sepertiga sejak awal tahun. Penguatan utamanya disebabkan oleh kebijakan pemangkasan produksi yang dilakukan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia. Selain itu, penguatan harga juga terjadi akibat pengenaan sanksi AS terhadap ekspor Iran dan Venezuela.

Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail Al- Mazrouei memperkirakan OPEC dapat menyelesaikan piagam kerja sama jangka panjang dengan mitra non-OPEC pada Juni 2019 mendatang.

Pada Rabu (20/3) lalu, lembaga pemeringkat S&P Global mengerek asumsi harga Brent kembali ke level US$60 per barel yang dipicu oleh pemangkasan produksi minyak oleh OPEC dan Rusia.

Kendati demikian, perang dagang antara AS-China yang telah berlangsung delapan bulan membuat pasar global khawatir. Pasar sebelumnya sudah dibuat cemas oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun ini.

Terdapat beragam sinyal terkait kemungkinan dapat segera terselesaikannya sengketa dagang antara dua perekonomian terbesar dunia itu.

Gedung Putih mengumumkan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin berencana melakukan kunjungan ke China pekan depan. Kunjungan terkait pembahasan perdagangan dengan pejabat tinggi.

"Pembahasan perdagangan AS-China terus menimbulkan risiko berganda untuk pasar minyak dan aset berisiko lainnya," imbuh Ahli Strategi BNP Paribas Harry Tchilinguirian dalam Reuters Global Forum.

Para analis menyatakan perlambatan ekonomi global akan segera menggerus permintaan bahan bakar dan berimbas pada harga minyak mentah.

Sementara itu, survei Thomson Reuters/INSEAD mencatat keyakinan pelaku bisnis di Asia tertahan di level terendah dalam tiga tahun pada kuartal pertama 2018 seiring berlarutnya perang dagang AS-China. Hal itu menyeret perekonomian global yang sudah berada di tren menurun.(cnn)
TERKAIT