Bankir Waspadai Prospek Ekonomi 2019 Redup


Jakarta -- Kalangan bankir turut mewaspadai prospek pertumbuhan ekonomi global dan domestik yang melemah seperti yang diramalkan dua lembaga ekonomi internasional.

Meski demikian, pelaku perbankan yakin momentum pemilihan umum dan kepastian pertumbuhan gaji pegawai tahun ini akan menjadi dua faktor utama pendongkrak pertumbuhan kinerja perbankan sekaligus ekonomi nasional.

Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memperkirakan ekonomi global turun dari 3,5 persen menjadi 3,3 persen pada tahun ini.

Sementara Bank Dunia (World Bank) memproyeksi ekonomi Tanah Air tumbuh stagnan di kisaran 5,2 persen pada tahun ini.

Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja melihat pertumbuhan ekonomi meredup karena gairah ekspor menurun. Bahkan, hal ini terjadi pada komoditas ekspor utama Indonesia, misalnya harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan batu bara.

"Problem (ekspor) seperti di China, mereka tidak mau lagi (komoditas) yang low quality, yang gampang kita ekspor, tapi mereka membutuhkan yang hybrid. Jadi tidak semudah dulu, itu yang menyebabkan ekspor agak melemah," ungkap Jahja di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (25/4).

Di sisi lain, menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami anomali karena peningkatan kinerja industri justru memunculkan tekanan berupa peningkatan impor. Hal ini tak lepas karena bahan baku industri umumnya hasil impor.

"Ada anomali, ketika industri lokal berkembang dan permintaan meningkat, maka impor akan naik, itu justru membahayakan. Jadi harus rem dan gas, harus seimbang antara kenaikan permintaan domestik dan kemampuan untuk ekspor," terangnya.

Faktanya, tekanan dan anomali tersebut, sambungnya, membuat kalangan bankir ikut mewaspadai prospek pertumbuhan ekonomi ke depan, meski kondisi saat ini tidak serta merta membuat sektor perbankan akan ikut melorot.

Senada, Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk Hariyono Tjahjarijadi juga melihat ada tantangan bagi industri perbankan ketika prospek pertumbuhan ekonomi tengah lesu.

Meski demikian, adapula ramalan yang menyebutkan bahwa kondisi sektor keuangan Indonesia tengah diuntungkan oleh sentimen kebijakan moneter dari bank-bank sentral di dunia.

Misalnya, kebijakan penahanan tingkat bunga acuan dari bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve dan bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB). Kebijakan tersebut memberi peluang bagi negara berkembang, termasuk Indonesia bisa mencicip aliran modal asing yang lebih deras dari investor di negara maju.

Sebab, selisih bunga acuan pada instrumen surat utang dari negara berkembang lebih besar dari yang ditawarkan negara maju. Hal ini pun terbukti dari derasnya aliran modal asing yang masuk ke Tanah Air.

Data Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing ke dalam negeri mencapai Rp90 triliun pada 1 Januari sampai pertengahan April 2019.

"Sebaik apapun kondisi keuangan Indonesia, harus dibedah derasnya aliran modal yang masuk itu ke sektor apa? Kalau hanya masuk ke investasi portofolio, itu risikonya bisa terjadi pembalikan yang cukup cepat," ucapnya kepada CNNIndonesia.com.

Pun begitu dengan Direktur Utama PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja. Ia turut mengamini soal perlu kewaspadaan dalam melihat prospek perekonomian ke depan. "Perekonomian masih penuh tantangan, pertumbuhan masih jauh dari harapan," ujarnya.

Berharap pada Momentum

Kendati lesunya prospek perekonomian perlu diwaspadai. Namun, Jahja menilai sejatinya masih ada beberapa hal yang bisa menopang pertumbuhan industri bank, khususnya dari dalam negeri. Misalnya, ada kepastian pertumbuhan gaji pegawai sebesar 8-10 persen per tahun sesuai dengan formula inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.

Hal tersebut, katanya, membuat daya beli masyarakat, termasuk nasabah bank masih ada, baik untuk konsumsi sehari-hari hingga mengambil kredit konsumer, seperti kartu kredit, Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), hingga Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Selain itu, ia mengatakan survei optimistis terhadap nasabah BCA menunjukkan hasil yang masih positif terhadap kemampuan konsumsi, khususnya dari industri perdagangan dan jasa.

"Kemudian, kalau bisa jaga keseimbangan likuiditas, suku bunga dan exchange rate (nilai tukar mata uang), saya yakin ekonomi masih akan bergulir cukup baik," jelasnya.

Begitu pula dengan Haryono, ia melihat peluang industri perbankan untuk tumbuh pada tahun ini masih ada. Asalkan, roda sektor riil tetap berputar.

"Sepanjang pertumbuhan ekonomi riil baik, maka (sektor) ritel dan (segmen kredit) konsumer juga baik, karena daya beli ada. Maka, bank pun bisa tumbuh double digit," katanya.

Sementara itu, Parwati melihat perbankan masih bisa menikmati pertumbuhan dengan memanfaatkan berbagai momentum. Mulai dari penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019 hingga Ramadan dan Lebaran.

"Kami harap kuartal II bisa lebih baik dengan adanya momentum Lebaran, meski segmen kredit konsumer masih relatif lambat pertumbuhannya untuk kami," pungkasnya.(cnn)
TERKAIT