Ada Daerah Bukan Penghasil Dapat DBH Sawit, Ini Jawaban Kemenkeu

Foto : Buah Sawit Yang Gugur dari Tandannya (Media Center Riau).

MEDAN – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menanggapi alasan beberapa daerah yang bukan penghasil sawit menerima Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit dari pemerintah pusat. Mariana Dyah Savitri, selaku Kepala Subdirektorat Dana Bagi Hasil, Direktorat Dana Transfer Umum Kemenkeu menjelaskan bahwa hal tersebut memang kerap ditanyakan kepala daerah para penghasil sawit.

Sebab, banyak daerah yang bukan penghasil sawit juga memperoleh DBH yang cukup besar. Dia mengatakan, ada dua pertimbangannya mengapa daerah tersebut menerima yaitu alokasi kinerja dan alokasi formula.

“Ada alokasi kinerja dan ada alokasi formula, seperti lahan sawit: 90 persen proporsinya. Sedangkan kinerja itu 10 persen. Itu ada di undang-undang malah,” ujar, dalam IPOS Forum di Medan, Jumat (27/10/2023).

Mariana mengatakan, Kemenkeu juga menggunakan indikator produktivitas sawit yang datanya berasal dari Kementerian Pertanian (Kementan). Kemudian, ujar dia, ada juga indikator kemiskinan daerah-daerah yang datanya berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Untuk yang pertama, DBH Sawit dibagikan sebesar 50 persen proporsinya dibagikan kepada daerah penghasil, 30 persen untuk provinsi, dan 20 persen untuk daerah yang dilewati.

Daerah bisa menerima DBH, ujar dia, karena memang daerah tersebut dilalui oleh perdagangan sawit.
“Pertimbangannya tidak menjadi penghasil tapi dilewati daerah penghasil, misalnya ada jalan-jalan yang dilewati. Jalan juga ada kabupaten, jalan provinsi, ada kemungkinan jala provinsi mengalami kerusakan makanya provinsi dapat dari DBH sawit,” jelas Mariana.
Selain itu, rencana aksi pengentasan kemiskinan pun menjadi hal yang diperhitungkan dalam memperoleh DBH bagi suatu daerah.
“Yang memperoleh yaitu daerah yang membuat rencana aksi daerah perkebunan sawit berkelanjutan. Jika tidak ada kebunnya, maka daerah itu membuat rencana aksinya menanggulangi kemiskinanan yang memang kemiskinannya tinggi,” jelas Mariana.

Meski demikian, dia mengatakan terkadang data memang harus terus diupdate agar perhitungan Kemenkeu berdasarkan data BPS bisa akurat. Pasalnya, data yang ter-update menentukkan perhitunangan Kemenkeu dalam mendistribusikan DBH ke daerah.

“Saya kira perbedaan-perbedaan menimbulkan pertanyaan daerah itu di formula ini. Sering kami terima pertanyan dari daerah itu luas lahan kita lebih luas dibanding tetangga. Untuk data-data sawit itu dari BPS, perhitungan dari kami sesuai data BPS. Memang perkembangannya ada perubahan data, update data. Nanti diupdate saja sama Bapa/Ibu ke BPS agar terupdate,” tandas Mariana.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani aturan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan Sawit. Yang akan jadi landasan aturan untuk pencairan DBH sawit ke daerah.

Maksud DBH dalam beleid ini bagian dari Transfer Ke Daerah (TKD) yang dialokasikan berdasarkan atas pendapatan tertentu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan kinerja tertentu.

“Yang dibagikan kepada daerah penghasil dalam hal ini perkebunan sawit, untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah dan daerah lain non penghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas yang membawa dampak negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah,” tulis beleid yang diundangkan 24 Juli 2023 itu.

DBH dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan bea keluar dan pungutan ekspor atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit, dan produk turunannya. Pagu DBH Sawit ditetapkan paling rendah sebesar 4% dari penerimaan negara, yang ditetapkan Dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.*


sumber : SAWIT INDONESIA


TERKAIT