Modal Dua SK Terbaru ini, KLHK Bakal Kebanjiran Cuan, Pelaku Sawit di Klaim Kawasan Hutan Babak Belur. Begini Hitungannya!

Foto : Patok kawasan hutan milik KLHK di kawasan Kepenghuluan Koto Parit, Rokan Hilir, Riau. Proyek patok itu juga masuk ke desa-desa lain di Riau. foto: aziz

Jakarta - Walau sampai sekarang kawasan hutan itu tak jelas juntrungannya lantaran mayoritas diklaim sepihak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus saja memaksakan kehendak.

Seolah-olah, semua pelaku usaha, baik perorangan maupun lembaga berbadan hukum, benar-benar telah melakukan pelanggaran terhadap kawasan hutan versi KLHK itu.

Padahal, banyak pakar yang mengatakan bahwa hampir semua kawasan hutan yang diklaim oleh KLHK itu, tidak memenuhi aturan yang terdapat pada pasal 14 dan 15 Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.   
Di pasal 14 ayat 2 disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan itu.

Lalu pasal 15 ayat 1, pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses; penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan.

Malah pada pasal 22 Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan disebutkan;
Pasal 1: Menteri menetapkan Kawasan Hutan didasarkan atas Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (6) yang telah temu gelang.

Pasal 2: Dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang tetapi masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan.

Uniknya, pemaksaan kehendak itu kelihatan hanya untuk perkebunan kelapa sawit. Adapun upaya pemaksaan kehendak itu kelihatan dari dua Surat Keputusan (SK) yang diteken oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya pada bulan Juni dan Juli tahun ini.

SK pertama diteken tanggal 21 Juni, bernomor 661, tentang Penetapan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak Dalam Rangka Percepatan Penyelesaian Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Sebagai Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Lalu SK kedua diteken pada 26 Juli, bernomor 815 tentang Percepatan Proses Penyelesaian Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Sebagai Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan kehutanan.

SK 661 terkesan ditujukan kepada pelaku usaha sawit yang masuk dalam skema pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja cluster kehutanan.

Poin penting Pasal 110A itu antara lain; kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya UUCK.

Untuk mereka yang masuk kategori ini, disuruh membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) paling tinggi Rp48 ribu per meter kubik kayu dan Dana Reboisasi (DR) USD13 per meter kubik kayu.

Jika potensi tegakan kayu rata-rata 25,7 meter kubik per hektar seperti yang tertera dalam SK 661 itu, maka sehektar lahan kebun sawit musti membayar PSDH 25,7xRp48.000 = Rp1.233.600 dan DR 13xRp14.500x25,7 = Rp4.844.450. Jika keduanya ditotal menjadi; Rp6.078.050.

Tidak ada penjelasan di SK661 itu apakah pembayaran tadi masih dikalikan dengan lama penguasaan dikurangi masa tidak produktif kebun kelapa sawit. Misalnya, lama penguasaan 10 tahun. Masa sawit belum produktif 4 tahun. Maka 10-4=6 tahun.  

Yang ada disebutkan di SK itu adalah bahwa pelaku usaha juga musti membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp1,6 juta per hektar per tahun untuk kebun yang berada di hutan produksi dan Rp2 juta per hektar per tahun untuk kebun sawit yang berada di hutan lindung atau konservasi.

Lantas SK 851? Ini terkesan untuk mereka yang masuk kategori pasal 110B UUCK. Pada intinya, mereka yang masuk dalam Pasal 110B itu adalah yang tidak memiliki perizinan berusaha.

Di sinilah pelaku usaha itu yang benar-benar akan babak belur. Dibilang begitu, lantaran selain lahan hanya berstatus pinjam pakai selama satu daur, musti membayar sejumlah duit, juga harus memulihkan lahan yang dipakai menjadi hutan kembali setelah masa satu daur kelar.

Adapun kewajiban pelaku usaha yang masuk kategori Pasal 110B menurut SK 851 itu adalah membayar denda administratif yang hitungannya seperti ini;
D=L x J x TD
D  = Denda Administratif (Rupiah)
L  = Luas Pelanggaran Kawasan Hutan (Hektar)
J  = Jangka Waktu Pelanggaran Kawasan Hutan (Tahun)
TD = Tarif Denda Dari Persentase Keuntungan/tahun (Rupiah)
TD = PB x DTH
PB = Keuntungan bersih/tahun/hektar atau 10xPNBP PKH
DTH = Tarif Denda Tutupan Hutan (Persen) eksisting sesuai hasil penelahaan (20%;40%;60%)

Dalam SK itu, 10xPNBP PKH=Rp16.000.000,- untuk penggunaan hutan produksi dan Rp.20.000.000,- untuk penggunaan kawasan hutan lindung atau konservasi.

Jika misalnya luas lahan pelanggaran kawasan hutan (L) 1 hektar, Jangka waktu pelanggaran kawasan hutan (J) 3 tahun (masa non produksi sawit dikurangi masa produksi, 7-4 (masa belum produksi), PB Rp16.000.000. DTH 20%, maka Denda yang harus dibayarkan untuk satu hektar = 1x3x (Rp16.000.000x20%) = 1x3xRp3.200.000=Rp9.600.000. Ini baru untuk sehektar dengan persentase tutupan hutan 20%.

Tapi lagi-lagi, semua hitungan ini hanya versi dan maunya KLHK, bukan maunya undang-undang kehutanan yang sesungguhnya. Sebab itu tadi, undang-undang mengatakan, khususnya pasal 1 ayat 3 UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan mengatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan tetap.

Dan penetapan itu dibuktikan oleh pelaksanaan pasal 15 undang-undang itu. Adapun bukti-bukti penetapan itu adalah Berita Acara Tata Batas (BATB) yang dibuktikan oleh sederet instrumen lain seperti peta tracking tata batas hingga peta polygon penataan batas.

Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah KLHK memiliki semua instrumen pengukuhan itu? Kalau ada, mestinya KLHK mempertunjukkan kepada publik.

Sebab Pasal 22 ayat 3 PP 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan mengatakan; Hasil penetapan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terbuka untuk diketahui masyarakat.

Bukan malah membikin proyek patok-patok batas kawasan hutan sendiri seperti yang telah dipasangi di kawasan Kepenghuluan Koto Parit Kecamatan Simpang Kanan Kabupaten Rokan Hilir, Riau, yang membikin Safi'i Ritonga jantungan sepulang dari Umroh awal bulan ini.*

sumber : elaeis.co

TERKAIT